Tuesday, October 22, 2013

Razia Topeng Monyet

Pagi ini saya liat foto di halaman utama koran Media Indonesia. Di foto tersebut, terlihat 3 orang satpol pp menggiring seorang laki-laki setengah baya yang bertelanjang kaki dengan kaos kumal kebesaran. Mukanya tanpa ekspresi. Kosong.

Foto tersebut melengkapi berita tentang razia topeng monyet di Jakarta. Gubernur Jakarta sendiri sudah menetapkan larangan terhadap topeng monyet. Selain dapat menularkan rabies, topeng monyet juga berdampak pada eksploitasi hewan itu sendiri.

Jelas memang hal tersebut sangat benar adanya. Saya sendiri sama sekali merasa tidak ada yang lucu saat menonton topeng monyet.

Saya sayang binatang. Tapi hanya kucing dan ayam-lah binatang yang paling dekat dengan saya. Binatang paling dekat dengan yang terakhir saya miliki adalah seekor ayam jantang turunan Bangkok bernama Samsu yang meninggal sebelum puasa kemarin. Sebenarnya itu bukan ayam saya, karena Samsu tinggal di Lampung. Keponakan sayalah yang menjaganya sampai terakhir kali dia bernapas.

Meskipun saya menyayangi binatang, saya tidak akan turun ke jalan untuk ikut kampanye perlindungan binatang. Saya hampir yakin, saya tidak akan pernah melakukan hal itu karena saya masih harus mengurusi perut saya yang juga harus diberi makan.

Bukannya saya anti-pati terhadap kampanye perlindungan binatang. Saya tetap cinta binatang. Saya tidak akan pernah menyiksa binatang. Bahkan saya memutuskan berhenti minum susu sapi karena tidak tega mengingat payudara sapi ditarik-tarik. Padahal menurut info, memerah susu sapi adalah cara agar payudara sapi tidak sakit. Tapi tetap saja tidak doyan daging dan susu sapi serta hewan berkaki empat lainnya.

Saat melihat foto dan membaca berita razia tadi pagi, saya justru merasa iba pada bapak pemilik monyet tersebut. Jelas perasaan iba saya ini akan ditentang oleh banyak aktivis pecinta binatang.

Mereka memang salah karena telah memperlakukan binatang tidak sesuai kodratnya. Tapi, apa pekerjaan mereka setelah ini? Aktivis?