Jadi, seandainya Timnas U-19 yang katanya hebat itu ga dibuatin lagu sama Letto dan ga sering mampir dan sowan ke Cak Nun, apakah komunitas yang berada di belakang Cak Nun akan memuji tim itu meskipun kalah? Atau sebaliknya, nyinyir seperti yang biasa dilakukan pada banyak hal? :)
I am an extraordinary troubledminder who always try to make people laugh 'though I am in the trouble,Cause life is just a comedy...
Sunday, October 12, 2014
Friday, October 10, 2014
Tentang Saya, Bis Damri dan Taipei 101
Apa yang istimewa dari sebuah bis damri? Tidak ada. Hanya sebuah bis AC yang biasanya dilengkapi dengan televisi yang memutar film lama dari sebuah dvd player. Satu-satunya yang mungkin bisa membuat saya terhanyut saat menumpangi bis damri adalah ketika kebetulan saya duduk di dekat jendela sehingga saya bisa melihat pemandangan sepanjang jalan dengan diiringi lagu dari playlist handphone yang kebetulan memutar lagu yang pas dengan moment.
Selain itu, biasanya saya hanya sibuk menahan diri agar tidak muntah karena mabuk perjalanan.
Lalu kalau tidak istimewa untuk apa diceritakan?
Ini tentang bis damri bandara. Saya baru dua kali naik bis damri menuju bandara, itupun terhitung dua kali karena perjalanan bolak-balik. Bukannya saya biasanya ke bandara naik taksi atau kendaraan lain, tapi, simply, karena memang baru sekali saya ke bandara. Saya bahkan belum pernah naik pesawat. Kampung halaman saya di Lampung dan apapun yang terjadi, menurut saya, kalau kamu orang biasa atau tempat yang kamu tuju di Lampung berada di samping bandara, adalah sia-sia pergi ke sana menggunakan pesawat terbang dari Jakarta. Berapa harga tiket pesawat Jakarta - Lampung? Jelas tidak lebih murah dari harga tiket kapal laut yang hanya Rp. 11.500. Belum lagi jarak yang ditempuh antara bandara dan pelabuhan menuju ke pusat yang sama jauhnya.
Tempat terjauh yang pernah saya kunjungi adalah Jogja. Dan itu saya tempuh menggunakan bis non-ac seharga kurang dari Rp. 100.000.
Jadi, tidak mengherankan kalau di jaman ketika orang sudah berpikir untuk tinggal di Mars, saya malah belum sekali pun naik pesawat.
Kembali ke bis damri.
Ketika itu awal tahun 2014, beberapa hari sebelum tahun baru China. Saya yang selalu punya mimpi untuk bisa pergi ke Taiwan dan berfoto dengan dengan background gedung Taipei 101, bertekad untuk pergi ke bandara Soekarno-Hatta untuk bertemu teman lama yang datang dari Taipei untuk liburan tahun baru.
Beberapa hari sebelumnya kami chatting di facebook. Saya cerewet sekali dengan menanyakan banyak sekali hal tentang Taiwan. Dia bilang kalau saya seperti seorang tour guide yang lancar ketika bercerita tentang negara Taiwan. Saya memang merasa bahwa saya tau banyak hal tentang Taiwan meskipun saya belum pernah pergi ke sana. Saya ceritakan bahwa saya jatuh cinta dengan Taipei 101. Dan dia pun menceritakan kalau dia akan ke Indonesia dalam beberapa hari dan menawari saya untuk membawakan sesuatu yang saya inginkan. "Apa pun yang berhubungan dengan Taipei 101", jawab saya langsung.
Lalu kami berjanji untuk bertemu di bandara saat dia datang karena dia akan langsung pergi ke Purwakarta ke rumah pacarnya.
Sekitar pukul 11 siang saya menuju terminal Pasarminggu untuk segera naik ke bis damri yang akan membawa saya ke bandara. Hal pertama yang saya rasakan adalah bulu-bulu di tangan saya berdiri. Dan wajah saya yang memanas. Bis yang sepi membuat saya bisa duduk leluasa di dekat jendela untuk melihat jalanan yang akan saya lewati. Dengan sangat singkat, saya tiba di bandara. Ternyata seperti itulah bandara internasional Soekarno-Hatta.
"Shintaro pernah berada di sini", itulah pernyataan bodoh yang terlintas di otak saya.
Saya masuk ke lift yang membawa saya turun satu lantai ke bawah. Banyak orang berdiri di sana dengan wajah yang menunjukkan beragam ekspresi. Terlihat pula banyak orang berkumpul di restoran cepat saji yang terletak di sebelah kiri pintu keluar.
Saya sedang memandangi berbagai ekspresi dari wajah orang-orang di sana ketika Ibu saya tiba-tiba menelpon. Entah kebetulan atau apa, Ibu saya tiba bercerita tentang anak temannya yang baru berangkat ke Taiwan untuk menjadi TKI yang bekerja di pabrik di Taiwan. Ketika saya bilang kalau saya sedang berada di bandara, Ibu saya malah bilang ke saya untuk sekalian berangkat ke sana. Heh?
Saya menunggu sekitar 2 jam untuk akhirnya bisa bertemu dengan teman saya yang tidak saya kenali wajahnya. Saya berdiri di antara wajah-wajah dengan mata sipit yang menanti kepulangan sanak saudara dan kerabat mereka dari berbagai tempat. Dari sebaris orang yang berdiri di pagar ruang tunggu, hanya ada tiga orang yang tidak bermata sipit, seorang laki-laki bermuka Arab yang bolak-balik ngomel ke sekuriti, seorang bule asal Australia yang berdiri di samping kiri saya yang menjadi satu-satunya teman bicara saya, dan saya sendiri. Berdiri di samping kanan saya seorang pria muda dengan kacamata dan anting di salah satu telinganya yang belakangan saya ketahui adalah pacar teman yang saya tunggu.
Kami akhirnya bertemu. Dia buru-buru karena keluarga pacarnya sudah menunggu, saya pun mengatakan bahwa saya juga buru-buru karena bis damri selanjutnya akan berangkat sekitar 15 menit lagi. Padahal saya sama sekali tidak terburu-buru untuk pulang. Setelah menyerahkan sebuah kantong yang dipenuhi huruf China, kami berpisah.
Saya segera berlari menuju ke halte tempat perhentian bis damri dengan berbagai tujuan. Saya berlari kencang, padahal tidak ada yang memburu saya. Semuanya saya lakukan hanya karena saya merasa bahwa saya sudah menggenggam salah satu mimpi besar di tangan saya.
Setelah menemukan bis damri jurusan Pasarminggu, saya langsung mencari kursi dekat jendela. Saya buka bungkusan berwarna pink itu dan terharu melihat beberapa lembar kartu pos berwarna biru muda dengan gambar Taipei 101 yang menjulang gagah, pemandangan kota Taipei terlihat kecil di kaki Taipei 101. Gedung-gedung di dalam kartu pos itu sudah sangat saya kenal di otak saya.
Isi lain dari bungkusan tersebut adalah kotak miniatur kertas dari Taipei 101 yang harus saya susun sendiri. Saya memeluk bungkusan itu dan tersenyum sendiri. Kemudian jatuh tertidur.
Kaki saya berat ketika harus turun dari bis. Itu adalah pertama kalinya saya ingin tetep berada di bis. Saya ingin kembali ke bandara dan mencari pesawat apa pun yang menuju ke Taiwan. Saya ingin mewujudkan mimpi saya. Saya ingin membuat semuanya menjadi nyata.
Taipei 101, kapan saya bisa melihatnya secara langsung?