Thursday, November 28, 2013

nDesa Saya Masuk Wikipedia

Apa perasaan kalian kalau tempat kelahiran kalian ada di Wikipedia? Pasti biasa aja. Lhawong kebanyakan mungkin lahir di tempat yang ada di peta. Tapi lain dengan saya yang tempat kelahirannya selain sulit dijangkau juga susah buat dicari di peta.

Sejak semalam, saya lagi suka dengerin lagu Passenger Seat-nya Steven Speak. Karena dengerin lagu itulah saya akhirnya inget kalau ada videonya Vic Zhou dengan backsound lagu tersebut. Judul video tersebut "Vic Chou Driving To Yilan". Kalau mau lihat seperti apa video, silahkan cari di youtube.

Video itu adalah video berdurasi 4 menit 36 detik tentang perjalanan Vic mengendarai mobil ke Yilan (kampung halaman Vic). Tenang, saya bukan mau nyeritain tentang Vic Zhou kok. Selain orang yang ada di video tersebut, yang membuat saya sangat tertarik adalah karena tiba-tiba saya ingat bahwa jalanan menuju Yilan mirip dengan jalanan menuju rumah saya. Jalan raya yang diapit tebing dan laut.

Saya sebenarnya jarang lewat jalanan itu saat pulang, karena saya lebih memilih lewat jalan satu lagi, yaitu sebuah jalanan curam melewati bukit. Karena saat pulang (saya biasa mudik malam hari), ketika sampai di dusun bernama Kalipasir, saya akan melihat bukit yang masih diselimuti kabut pada waktu subuh.

Nah, karena ingat jalanan pulang di video itu, akhirnya saya ketik "Padangcermin" di google. Padangcermin adalah nama kecamatan tempat saya lahir.

Saat hasilnya keluar, ada satu yang membuat saya langsung tertawa gembira. Yaitu tulisan desa Gunungrejo di kolom Wikipedia. Saya buka dan saya makin tertawa karena ada nama-nama kepala desa dari awal terbentuk sampai sekarang. Yang membuat saya tertawa adalah karena nama-nama itu sangat akrab di telinga saya, karena mereka adalah teman-teman Bapak saya. Kenalkan, Bapak saya bernama bapak Wiyatmo. Seorang pria kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, yang memutuskan untuk pindah ke Lampung pada awal tahun '70an demi mencari masa depan yang lebih cerah, kemudian akhirnya menemukan seorang wanita bernama Jariyah yang merupakan anak ke-4 dari 8 bersaudara. Berkulit putih, bertubuh iwel-iwel dan bermata sipit. Tak kiro Ibuku ki Cina hahahaa...

Sebagai anak rantau yang hanya bisa pulang kampung setahun sekali, saya kurang paham tentang perkembangan nDesa saya. Saat pulang, memang tidak banyak yang berubah dari wajah tempat lahir saya, di samping warganya yang terlihat asing di mata saya. Karena yang tua semakin tua, yang kecil jadi dewasa.

Mungkin sebelum saya tulis tentang Desa Gunungrejo, saya akan cerita tentang dusun tempat saya lahir dulu. Namanya Gunungsari atau biasa disebut Is. Kata mbah kakukng saya sih disebut Is karena lokasi kampung kami di sebelah timur pabrik karet. Lokasi pabrik itu sendiri sekarang sebenarnya bernama Tamansari. Tapi tetap dikenal dengan sebutan "Pabrik", padahal sekarang nggak ada pabrik apapun di sana.

Setau saya (kalau belum berubah), kampung kami terdiri dari 3 RT. Saya tinggal di RT 2 dengan pak RT bernama pak Subur, yang juga adalah seorang transmigran dari Jawa Timur. Rata-rata warga di kampung kami adalah orang Jawa, baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Hanya ada satu keluarga Batak, yaitu pak Margono dengan istrinya bu Marice, keluarga pemilik warung terbesar di kampung kami. Dan seorang keluarga Sunda yaitu abah Rojak, yang tinggal di dekat masjid kebanggaan warga Is, yaitu masjid Jami Al Ikhlas. Rumah saya berada di kawasan paling ramai untuk ukuran kampung kami. Dekat sekolah, dekat masjid dan dekat warung. Rumah saya berada di sebuah tanah yang lokasinya menanjak. Jadi dari halaman rumah, kami bisa melihat jalan raya (lagi-lagi, "raya" untuk ukuran kampung kami) serta gunung Gede, yaitu gunung yang berderet panjang di sebelah selatan. Nah, dibalik gunung itulah terletak Teluk Kiluan yang namanya termasyur itu.

Halaman depan rumah kami lumayan luas. Halamannya bukan dari tanah, tapi sudah rata disemen untuk keperluan menjemur kakao. Rata-rata rumah di kampung kami pasti mempunyai halaman yang disemen, karena mata pencaharian warga adalah bertani kakao.

Depan rumah kami adalah rumah pak Subur, sebelah utara adalah rumah pakde Maryan, sebelah selatan adalah rumah pak Ngadiyo, sedangkan di selatan agak menjorok ke belakang adalah rumah pak Paijo. Anak-anak pak Paijo inilah yang membantu saya berada di Jakarta. 3 dari 5 anak pak Paijo bekerja sebagai pegawai pabrik di Balaraja. Selama mendaftar kuliah, saya tinggal bergantian di rumah mereka. Dulu saat kuliah, ketika kekurangan uang dan kiriman belum datang, salah satu dari mereka yang membantu. Selain keluarga pak Paijo, anak-anak dari pak Jumiko (teman Bapak dari Jawa yang juga tetangga) juga selalu menolong saya di masa-masa kuliah. Terimakasih semuanya, saya seperti ini juga karena kalian semua :')

"Hidup yang paling nyaman adalah di desa", begitu kata Ibu saya. Orang yang hidup di desa (dalam hal ini adalah kampung saya) sesusah apapun pasti bisa makan 3 kali sehari. Tempat di mana orang-orang tidak perlu dipaksa untuk makan sayur adalah di desa.

Saat musim paceklik, kakao hanya berbuah sedikit dan kadang brekele (buahnya tidak bagus), orang-orang masih bisa makan dengan tenang. Mungkin mereka tidak bisa membeli bahan makanan dari warung atau pasar, tapi akan tetap selalu ada sayuran yang bisa dipetik dari halaman tetangga. Ada pepaya di belakang rumah tetangga, daun singkong, bayam dan kawan-kawan. Dan semua cuma-cuma alias free tanpa diminta bayaran.

Saya sangat bersyukur karena saya lahir dan besar di kampung terpencil seperti Is. Dari sanalah saya belajar cara hidup yang benar. Dari sanalah saya mengenal tata krama. Dari sanalah saya tau bagaimana harus berjalan di jalan yang benar. Dari sana juga saya tahu apa itu gotong royong dan membantu sesama tanpa pamrih. Dan yang membuat saya lebih bersyukur adalah karena saya lahir di keluarga bapak Wiyatmo.  Keluarga yang mewajibkan anak-anaknya menempuh pendidikan minimal SMA. Di mana pendidikan seakan kurang begitu penting di kampung kami. Karena itulah saya dengan bangga menuliskan nama "Wiyatmo" di belakang nama saya yang pastinya adalah nama kampung.

Satu yang sangat saya kagumi dari kampung kami adalah langitnya. Baik pagi, siang, sore atau malam, langit di kampung kami adalah langit paling menakjubkan yang pernah saya lihat. Saat pagi berwarna oren, siang berwarna biru jernih, sore berubah menjadi jingga keunguan, dan puncaknya adalah saat malam. Ribuan bintang akan terlihat jelas seperti kita sedang berada di pesawat luar angkasa. Saat menghadapan ke selatan, akan dengan jelas terlihat rasi bintang Gubuk Penceng yang membentuk seperti layang-layang raksasa. Selain itu, hampir setiap rumah menggunakan parabola, yang saya percaya adalah satelit yang digunakan warga untuk berkomunikasi dengan makhluk dari planet lain.

Kamu mau kelapa muda, tinggal petik. Kamu mau buah mangga, ada. Kamu mau pisang, silakan ambil. Kamu mau buah salah, tinggal minta ke tetangga. Semuanya ada, hanya jodoh yang tidak saya temukan di kampung saya hahahahaaa...

Nah, ketika sebuah desa terpencil seperti tempat saya ini bisa masuk Wikipedia, tidak heran kalau saya sangat gembira. Bahkan saya punya potongan koran yang memuat berita tentang desa saya yang saya temukan di koran yang saya beli untuk duduk di kapal saat pulang dari kampung. Sekarang masih menempel rapi di lemari.

Semoga suatu saat nanti, saya bisa kembali menghabiskan masa tua saya di desa. Mengingat masa kecil saat saya masih berlarian bertelanjang dada dengan sendal jepit atau bertelanjang kaki. Semoga...

Friday, November 15, 2013

戚伟易

Entah saya harus mulai dari mana. Karena saya mau mengkhayal di postingan ini.

Sudah lama saya mau menulis tentang laki-laki ini. Seorang pria berumur 25 tahun yang menjadi pewaris perusahaan bernama Yi Yang Group. Dialah Qi Wei Yi.

Qi Wei Yi sekarang sudah meninggal. Dia meninggal sebelum Natal tahun 2006. Meninggalkan banyak kenangan pada banyak orang yang mengenalnya, saya salah satunya.

Banyak kenangan tentang Qi Wei Yi yang bisa membuat saya tiba-tiba tersenyum sendiri atau bahkan menangis sendiri bila mengingatnya. Dia adalah sosok yang selalu terlihat dingin, serius dan mempunyai target. Tapi pada kenyataannya, dia adalah orang yang berhati hangat namun kesepian.

Dia meninggal karena kanker hati yang di deritanya. Dia tahu tentang penyakit itu 3 bulan sebelum dia meninggal. Dan dalam waktu 3 bulan itulah, hidupnya menjadi kenangan yang tidak akan terlupakan bagi saya. Bahkan menemani saya menjalani kehidupan sehari-hari.

Qi Wei Yi pernah bilang bahwa orang-orang baik yang meninggal akan pergi ke planet Mars, Lucky Star. Dia juga mengajarkan bagaimana isyarat tangan untuk Lucky Star. Dan saat merasa sedih, gugup atau ruwet, saya selalu mengaitkan kedua tangan saya membentuk Lucky Star. Maka segala kegundahan hati akan hilang.

Tadi pagi, sepulang dari lari pagi, saya pergi ke Pasarminggu. Keadaan pasar agak kurang mendukung sepatu saya. Hujan semalam membuat keadaan pasar menjadi becek. Tapi saya tetap berjalan mengelilingi pasar.

Sambil ditemani suara Qi Wei Yi yang menyanyikan lagu Shou Xi De Wen Rou, saya berjalan. Berharap Wei Yi berdiri sambil memamerkan senyumnya yang khas. Menunjukkan giginya yang gingsul dan lesung pipi serta mata yang sedikit terpejam saat tertawa. Saya dekati beberapa penjual daun bawang yang ada. Karena terakhir saya melihat dia di pasar adalah saat menawar daun bawang.

Tapi setelah berputar-putar, saya tetap tidak menemukan Qi Wei Yi. Saya pun tau, saya tidak akan menemukan Qi Wei Yi di mana pun. Karena Wei Yi sudah ada di hati saya. Saya tidak perlu mencarinya.

Natal tahun ini, akan menjadi Natal ke-7 semenjak kepergiannya.

Sekarang dia pasti ada di Lucky Star. Berkedip setiap malam, mengetahui bahwa saya merindukannya. Menunggunya membalas kode dan isyarat tangan yang selalu saya kirimkan.

Dia pergi ke planet Mars. Sayangnya dia lupa, saat pergi ke planet Mars, tidak ada kendaraan untuk kembali ke bumi. Qi Wei Yi telah kembali ke rumahnya di Lucky Star. Di sini, saya akan terus mengingatnya sebagai orang yang pernah memberikan kenangan indah dalam hidup saya.

Berbahagialah, Qi Wei Yi. Suatu saat kita pasti bertemu lagi.

































Begitulah kira-kira khayalan saya di siang yang mendung ini.

Thursday, November 14, 2013

Hua Ze Lei

“There are two types of regret in
this world. One is losing the person
you love. The other is seeing your
beloved lose happiness"

“we could stop our tears from flowing if we stand upside down.”

Saturday, November 2, 2013

Tuhan Sang Maha Tak Terduga

"Where there is a will, there is a way", begitu kata pepatah lama. Kalimat ini pertama kali saya baca di sampul buku tulis Sinar Dunia (SiDu) ketika SD, yang ketika itu saya artikan menjadi, "Dimana di sana adalah akan, di sana adalah jalan". Tapi ketika saya mulai sedikit tau bagaimana cara berbahasa Inggris, saya akhirnya mengerti bahwa maksud dari kalimat mutiara tersebut adalah "Di mana ada kemauan, di situ ada jalan".

Kalimat yang entah pertama kali diucapkan oleh siapa ini adalah kalimat yang sangat benar adanya. Tuhan memang Maha Mengetahui. Saat salah satu dari makhluk-Nya memiliki impian, maka perlahan tapi pasti, Dia membuka jalan, meskipun itu dengan cara yang kadang sepele.

Saya pernah menulis di blog ini beberapa waktu yang lalu tentang keinginan saya untuk bisa menguasai bahasa Mandarin. Sampai sekarang memang saya belum kesampaian untuk mengikuti pelajaran secara resmi seperti melanjutkan kuliah di jurusan bahasa Mandarin. Karena jangankan untuk melanjutkan kuliah, melihat biaya kursus bahasa Mandarin saja saya sudah ketar-ketir. Mungkin dengan gaji saya sekarang, saya bisa membayar uang kursus bahkan uang kuliah sekalipun, dengan resiko saya hanya makan sekali sehari dengan porsi setengah dan berangkat ke kantor sambil ngamen biar gratis hehehe...

Tapi Tuhan tidak akan menciptakan manusia tanpa akal. Karena itulah keistimewaan manusia, diberi akal.

Seperti yang juga saya tulis di tulisan saya beberapa waktu lalu, saya selalu menyempatkan waktu untuk belajar bahasa Mandarin secara otodidak. Setiap malam sebelum tidur, yang saya lakukan adalah mempelajari apa yang ada di buku petunjuk yang saya miliki. Kadang saking bingungnya saya sampai berkeringat. Tapi Tuhan juga tidak pernah membiarkan saya bingung terlalu lama. Karena tidak mungkin ada pertanyaan tanpa jawaban. Oleh karena itu saya yakin, diciptakannya sebuah aplikasi bernama wechat adalah saya satu rencana Tuhan untuk saya. Iya, wechat. Ada fitur di aplikasi tersebut bernama 'drift bottle' yang memungkinkan penggunanya untuk berkirim pesan dan berteman dengan pengguna dari negara lain. Dan beberapa teman saya di wechat berasal dari negara-negara daratan China. Mereka adalah tempat saya bertanya ketika saya bingung tentang bahasan di buku panduan saya.

Selain belajar sendiri, saya juga rajin menonton serial drama Taiwan dari dvd bajakan yang saya beli Rp. 5000/keping. Bahasa yang digunakan di serial drama Taiwan memang agak berbeda dengan bahasa Mandarin yang menjadi bahasa resmi. Tapi saya juga bingung di mana perbedaannya.
Kadang saya sengaja mematikan subtitle di drama tersebut. Dan itu lumayan membantu.

Alhamdulillah, berkat belajar sendiri selama kurang lebih dua bulan ini, saya sudah bisa menulis sekitar 65 karakter. Meskipun masih kaku dan kadang masih harus berpikir beberapa detik saat membaca. Tapi saya bahagia.

Dan tadi siang, saya bahagia sekali. Mungkin bagi orang lain, kebahagiaan saya ini sepele. Tapi untuk saya, ini semacam menjalani ujian semester dan hasilnya memuaskan.

Jadi tadi siang saya pergi ke supermarket di sebuah mall kebanggaan masyarakat Pejaten dan sekitarnya untuk membeli beberapa barang. Mall yang dulunya hanya berisi mahasiswa Unas dan anak-anak sekolah Gonzaga ini sekarang sudah lebih ramai dan menjadi tempat tujuan para expatriat yang tinggal di sekitar Pejaten dan Kemang.

Tadi ketika saya antre di kasir, saya berdiri di belakang 2 orang bermata sipit dan berkulit putih yang ngobrol menggunakan bahasa yang sangat familiar bagi saya. Beberapa kali saya dengar kata, "meiyou" dan "shi a". Saat dua orang tersebut selesai membayar, salah satu dari mereka bertanya pada kasir. Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan. Tapi karena tampaknya mereka bertiga sama-sama bingung, akhirnya saya tertarik untuk mendengarkan. Dan ternyata 2 orang China tadi sepertinya tidak mengerti bahasa Inggris. Beberapa kali saya mendengar mereka mengucap "sutien" sambil membuat isyarat tangan seperti orang sedang mengipas sesuatu.

Saya dalam hati mengingat-ingat arti kata "sutien" yang mereka ucapkan. Dan saya akhirnya 'ngeh' bahwa 'sutien' yang mereka maksud adalah Shu Dian (书店) atau toko buku. Mungkin isyarat tangan tadi adalah membuka buku.

Saya akhirnya memberanikan diri ikut nimbrung dengan bertanya, "Shu Dian?". Iya, saya bertanya pada mereka. Dan saat mereka bilang iya, akhirnya saya jawab "zai san ceng", yang artinya di lantai 3. Entahlah, saya juga bingung itu toko buku hitungannya di lantai 3 atau lantai 1. Karena saya bingung dengan cara pengelola pusat perbelanjaan menomeri lantai.

Ketika mereka mengucap "xiexie" dan pergi saya langsung merasa bahagiaaaaaaaaaa sekali. Akhirnya apa yang saya pelajari ada gunanya juga.

Walaupun hanya mengucap beberapa kata, rasanya saya sudah menjadi orang paling bahagia sedunia saat itu. Memang ini bukan pertama kali saya coba menggunakan bahasa ini secara langsung, karena saya pernah menawarkan minum pada tamu dari Malaysia di kantor -yang bahasa Inggrisnya bikin pusing- dengan bahasa Cina. Yang saat dijawab saya juga ternyata tetap pusing dan tidak mengerti mereka mau minum apa :D

Seperti yang saya tulis tadi, bagi orang lain, jelas kejadian tadi siang sangat sepele dan tidak terlihat letak hal yang membuat bahagia. Tapi Tuhan Yang Maha Lucu memang sering membuat saya tersenyum bahkan tertawa sendiri karena bahagia. Karena Dia tau, tapi menunggu. Mungkin tadi saat saya berjalan di eskalator sambil menarik napas bahagia, di atas sana, Tuhan juga sedang tersenyum bahagia karena salah satu hadiah-Nya membuat makhluk ciptaan-Nya bahagia. Terimakasih, Tuhan :)