Pagi ini saya kembali dibuat tersenyum oleh kelakuan warga Jakarta. Kelakuan yang sangat tipikal sebenarnya.
Sebagian orang yang tinggal di Jakarta, baik warga asli maupun pendatang adalah orang-orang yang setiap harinya selalu melakukan kebiasaan yang sangat membosankan, yaitu mengeluh. Mungkin bukan sebagian. Tapi seperti biasa, kita sebut saja oknum. Yang sangat disayangkan adalah oknum-oknum tersebut seringkali muncul di sekitar saya. Jadi seolah dalam pikiran saya, sebagian warga Jakarta adalah yang tipenya seperti mereka.
Keluhan mereka sebenarnya, seharusnya, sudah tidak wajar bila dikeluhkan lagi. Dia adalah sesuatu bernama kemacetan. Topik yang selalu menjadi pilihan utama untuk mengeluh.
Jakarta dan macet adalah dua kata dengan makna yang menurut saya sama. Macet adalah Jakarta, Jakarta adalah macet. Jadi, sekali kita memutuskan untuk tinggal di Jakarta, kita juga akan mendapat paket menarik bernama kemacetan. Dan lagi, kemacetan di Jakarta adalah sesuatu yang sangat terkenal se-antero nusantara. Jadi ketika memutuskan untuk tinggal atau menetap di Jakarta, kita juga harus siap mental menghadapi anugerah Tuhan bernama macet ini.
Yang membuat muak tentang keluhan ini adalah ketika ada seorang pengendara mobil yang mengeluhkan kemacetan sedangkan jumlah orang di mobilnya hanya satu orang. Dan keluhan itu diucapkan hampir setiap hari. Tidak sadarkah bahwa dia adalah salah satu penyebab kemacetan yang dikeluhkannya?
Kejadian nyata yang saya tau adalah ketika ada seseorang yang saya kenal, bisa disebut teman kalau dia menganggap saya teman, mengeluh di twitter tentang kemacetan jalanan dari kost-nya menuju kantor. Dan inti dari yang dikeluhkannya adalah mobilnya yang harus kotor sana-sini karena terlalu lama terkena macet. Di twitnya dia mengatakan, "Jalan dari kost ke kantor nggak sampe 500m aja hampir 1 jam, mobil gue jadi dekil kelamaan di jalan."
OKE.
OKE.
OKE.
Jarak kurang dari 500 meter harus ditempuh menggunakan mobil pribadi dan masih mengeluh tentang macetnya Jakarta. Mungkin bagi sebagian orang, berjalan kaki menuju kantor yang jaraknya sangat dekat adalah hal yang sangat memalukan. Meskipun keuntungan berjalan kaki adalah terhindar dari kemacetan. Apalagi dengan jarak kurang dari 500 meter. Tapi pasti ada saja banyak alasan yang keluar untuk menolak berjalan kaki, entah itu keluhan tentang trotoar yang tidak layak, trotoar yang diserobot pengguna motor, atau debu dan polusi Jakarta yang selalu mengganggu. Tapi yakinlah, terlalu banyak mengeluh tanpa memberi solusi itu tidak ada gunanya. Mengeluh tentang kemacetan dari dalam mobil pribadi berisi satu penumpang tidak akan pernah mengurai kemacetan. Kita hanya akan menjadi orang yang membunyikan klakson saat lampu lalu lintas sedang berwarna merah, tidak ada hasilnya.
Semua yang tinggal dan menginjakkan kaki di kota Jakarta berperan menghasilkan kemacetan yang selalu dikeluhkan itu. Bukan saja pengandara kendaraan bermotor, siapa saja yang di kota ini adalah penyumbang kemacetan. Jadi untuk apa mengeluh tentang kemacetan bila penyebabnya adalah kita sendiri? You are the traffic, we are the traffic.
Sulit memang mencari solusi untuk kemacetan Jakarta yang levelnya adalah level suram ini. Volume kendaraan yang semakin memenuhi jalanan, penduduk yang semakin memadat ditambah dengan sarana transportasi umum yang buruk. Siapa yang bisa mencegah semua itu? Tidak ada. Satu hal yang tidak akan menambah kesuraman dan keruwetan adalah berhenti mengeluh. Karena mengeluh hanya untuk orang-orang yang lemah.
No comments:
Post a Comment