Saya sebenernya udah nahan-nahan untuk nggak nulis ini sejak 3 hari kemarin. Karena, seperti biasanya, kalau saya nulis tentang ini biasanya saya agak kebawa emosi. Tapi hari ini, saya udah janji untuk nggak emosi dan nggak nulis "kasar" lagi karena banyak alasan yang membuat kadar emosi saya akhir-akhir ini berkurang. Thank you to Mother Nature for making a balance body and soul maker called yoga.
Minggu, 9 Maret 2013 GMT+0 atau Senin dinihari waktu Indonesia, sebuah kabar amat sangat menggembirakan *seharusnya* untuk rakyat Indonesia. Yah, seharusnya hal itu menjadi kabar baik bagi Indonesia. Saya malam itu meneteskan air mata haru untuk kesekian kalinya karena hal ini. Siapa yang tidak terharu dan meneteskan air mata bangga kalau 2 orang manusia -yang tidak terlalu dikenal masyarakat- berhasil mempertahankan gelar prestisius sekelas All England, 2 tahun berturut-turut.
Malam itu, tidak banyak orang tahu tentang hal ini. Saya yakin, mereka pasti punya alasan sendiri mengapa harus tidak tahu kabar menggembirakan sebesar ini. Bukankah sudah biasa bila banyak orang di Indonesia tidak tahu kabar baik dari banyak bidang selain sepakbola? Lihat saja juara olimpiade sains yang berhasil memenangkan event-event besar internasional, adakah yang mengingat? Kalah dihinakan, menang dilupakan. Begitulah SOP yang berlaku.
Masih jelas di ingatan saat tim Thomas-Uber Indonesia gagal di perempat final tahun lalu. Cercaan, hinaan, cacian dan makian bertebaran di mana-mana. Padahal sebelumnya Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir juga memenangkan gelar All England setelah beberapa tahun gelar besar tersebut tidak pulang ke Indonesia. Terakhir gelar juara All England direbut oleh pasangan Chandra Wijaya/Sigit Budiarto di awal tahun 2000-an.
Masih ingat pula ketika Indonesia gagal mempertahankan tradisi emas Olimpiade yang sudah didapat sejak pertama kali bulutangkis dipertandingkan di OG tahun 1992. Masyarakat mencerca, menghina dan di twitter, banyak sekali orang yang tiba-tiba berubah menjadi orang yang seakan-akan tahu banyak tentang olahraga ini dengan tiba-tiba 'kultwit' mengenai sejarah emas bulutangkis yang tentunya diakhiri dengan hinaan pedas pada para punggawa bulutangkis Indonesia yang berlaga di olimpiade.
Saya yakin mereka juga tidak akan pernah menginginkan kekalahan seperti itu. Saya tidak nafsu makan selama 3 hari waktu itu.
Dan lagi, pagi ini saya menemukan seseorang di linimasa saya yang berkicau kurang lebih seperti ini, "oh, pasangan ganda campuran Indonesia juara All England ngalahin juara Olimpiade dari Cina ya? Kok sepi?". *inhale....exhale.....*
Dalai Lama prohibits me to get angry or think badly about others. And Budha teachs me how to be grateful to the universe. Meskipun tidak banyak orang yang tahu, I'm so grateful to my BIG GOD for opening their eyes. Akhirnya mereka, at least, bisa dan mau membaca tentang kabar gembira ini.
Malam itu, saya dan para pecinta bulutangkis lainnya -yang saya yakin sama seperti saya kurang tidur selama seminggu- bersiap menunggu detik-detik menegangkan saat di mana Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir, dua dari puluhan ribu putra-putri terbaik Ibdonesia, untuk berjuang dengan senjata raketnya masing-masing meruntuhkan tembok Cina.
Malam itu, ribuan orang Inggris di Birmingham datang dan ikut meneriakkan nama Indonesia, ikut mendukung perjuangan atlet Indonesia di negeri jauh. Lagu "Garuda Di Dadaku" dikumandangkan oleh sekumpulan mahasiswa Indonesia yang selalu hadir setiap tahunnya. Pada saat bersamaan, puluhan ribu masyarakat Indonesia asyik menyaksikan pertandingan sepakbola antara Chelsea kontra Manchester United. Siapa yang melarang mereka menyaksikan pertandingan klub sepakbola kesayangan mereka? Tidak ada. Siapa yang mewajibkan mereka menonton pertandingan bulutangkis? Juga tidak ada. Itu hak mereka.
Yang jadi masalah adalah ketika bangsa Indonesia menjalankan SOP "Kalah dihinakan, menang dilupakan". Bagi saya ini bukan tentang apa yang disebut nasionalisme. Terlalu berat untuk saya membicarakan hal tersebut. Ini hanya tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia mengingat dan memperlakukan manusia-manusia yang telah mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Dan sekali lagi, ini bukan hanya tentang atlet-atlet bulutangkis, tapi lebih umum, juga para juara-juara yang telah membuat Indonesia dikenal baik di mata dunia.
People have their own opinions, and this is mine. It's the right time for us to say goodbye to the indifferent mind to the people who have made some good news about our lovely country.
Much Love,
Lilis Wiyatmo