Liburan idul fitri kemarin, seperti tahun-tahun sebelumnya saya selalu pulang ke Bumi Ruwa Jurai, Lampung. Saya sengaja cuti lebih dari seminggu karena saya memang ingin bisa lebih lama tinggal di rumah.
Dan seperti kebiasaan setiap saya pulang, list tempat-tempat yang akan dikunjungi untuk makan siang pun disusun. Iya, tempat makan siang. Jangan bayangkan bahwa tempat yang akan dikunjungi untuk makan siang adalah sebuah restoran atau rumah makan unik. Tempat yang saya maksud adalah sawah milik tetangga, kebun kakao, atau sebuah sungai yang biasa kami sebut Kali Is. Keluarga saya bukanlah jenis keluarga yang bisa dengan mudah makan dengan lahap dalam berbagai kondisi. Terutama adalah saya dan Ibu saya yang makan tergantung pada mood.
Maka dijadwalkanlah 2 buah hari untuk kami sekeluarga pergi ke pantai. Salah satu yang selalu menjadi pilihan dari keluarga saya adalah pantai yang sepi tanpa pengunjung, kalau bisa masuk ke hutan dan benar-benar sepi hanya ada kami.
Setiap tahun, pantai yang tidak pernah absen kami kunjungi adalah pantai Batu Solo. Entah kenapa namanya Batu Solo. Pantai lumayan indah di pagi hari sampai sekitar pukul 12 siang. Karena di waktu-waktu tersebut, air laut masih pasang dan jernih. Kita bisa pergi ke tengah laut, naik ke atas pohon bakau dan memancing ikan. Kelebihannya adalah, kita bisa melihat langsung mulut ikan yang terbuka dan menyambar umpan yang kita berikan. Selain itu, pantai Batu Solo adalah tempat berkumpulnya jenis kera putih yang akan muncul di sore hari saat air laut mulai surut.
Berkali-kali saya dan keluarga mendatangi pantai ini dengan membawa bekal makanan yang lebih mirip seperti korban banjir yang akan mengungsi dibanding dengan orang-orang yang akan pergi camping. Dan karena sudah berkali-kali datang, dan seharian di pantai Bapak saya hanya numpang tidur siang, maka akhirnya kami memutuskan untuk mencari pantai baru di kedua petualangan makan siang kami.
Suami kakak saya adalah orang yang suka berpetualang keliling kemana-mana. Dan akhirnya dia mengusulkan untuk kami pergi ke pantai Tulus. Sebuah pantai di daerah kecamatan Gayau, di bagian selatan Lampung.
Kata Gayau sendiri membuat saya berpikir bahwa ini adalah lokasi yang sangat jauh dengan jalan berlubang masuk ke hutan.
Saya pernah sekali pergi ke daerah Gayau tersebut semasa SMP. Kalau tidak salah, ketika itu kami akan mengadakan latihan pramuka bersama dengan siswa dari beberapa SMP di daerah tersebut, sedangkan pembinanya sendiri berasal dari sebuah SMA Negeri di daerah Punduh Pedada yang juauhhhnyaaaa ngaluk-aluk beroooo *bayangin nama Punduh Pedada sumpah ane jadi eneg*.
Waktu itu saya dan teman-teman anggota pramuka lainnya pergi menggunakan sebuah mobil pick-up bak terbuka melewati jalanan aspal yang "berjerawat" diselingi hujan lebat. Maka lengkaplah petualangan saya sebagai anggota pramuka yang mengamalkan Dasa Dharma Pramuka nomer dua.
Dan pergilah kami sekeluarga ke pantai Tulus pada hari yang sudah ditentukan.
Pagi hari aktivitas di rumah saya gerubak-gerubuk nggak karuan. Ibu saya riweuh dengan bekal makanan yang cukup buat makan orang se-RT, kakak perempuan saya juga bingung mencari ransel untuk tempat makanan yang rata-rata rasanya pedas level 70.
Keponakan saya, Rangga, sibuk memasukkan baju ke dalam ransel kuningnya. Bapak saya sibuk memilih batik, iya batik. Errrrrr, ke pantai pakai batik. Oke, oke...
Dan berangkatlah keluarga + saya yang berangkat dengan tidak mandi.
Jarak rumah saya ke pantai Batu Solo sendiri memakan waktu sekitar 1 jam perjalanan menggunakan motor melewati pangkalan Angkatan Laut di daerah Piabung, sedangkan jarak dari pantai Batu Solo ke pantai Tulus masih sekitar satu jam setengah lagi. Banyak anggota TNI yang lari pagi dengan bertelanjang dada dengan kulitnya yang cokelat dan perut yang terbagi 6 kotak membuat perjalanan agak mengasyikkan meskipun harus menahan pantat yang rasanya udah kebal karena kesemutan gara-gara 2,5 jam di atas motor.
Saya naik motor bertiga dengan kakak saya dan suaminya. Sedangkan Ibu-Bapak saya bertiga dengan keponakan. Naik motor bertiga tanpa menggunakan helm dan berada di atas jalanan yang kacau adalah hal yang sangat tidak patut untuk ditiru.
Setelah diwarnai insiden ban motor Bapak bocor di tengah jalan, akhirnya sampailah kami di jalan setapak yang diapit sawah. Kami melanjutkan perjalanan sambil membayangkan cara penduduk setempat mendapatkan air. Sepanjang jalan yang kami lewati yang terlihat adalah debu serta tanah pecah-pecah dan pohon bakau yang tumbuh di depan rumah. Mungkin tadinya daerah tersebut adalah rawa yang mengering.
Setelah mendaki gunung lewati lembah, sampailah kamu pada sebuah tempat lapang yang sekitarnya ditumbuhi pepohonan mangrove. Motor diparkir di tanah lapang tersebut dan kami berjalan menembus pohon bakau. Seketika muncul pemandangan liar biasa. Garis pantai berpasir putih dengan keadaan yang sangat sepi. Yah, we are the King of the beach.
Kami segera mencari tempat yang nyaman untuk duduk dan membuka makanan. Bapak saya membuka batiknya dan langsung tidur di atas batu panjang. Ibu saya membuka bekal dan setelah mengganti baju dengan yang lebih ringkas, kami pun makan.
Selesai makan, saya langsung masuk ke air dan membiarkan diri saya mengapung telentang tertimpa cahaya matahari. Saya tak henti-hentinya menyanyikan lagu milik Frau - Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa. Damai rasanya.
Sekitar 2 jam saya mengapung di air laut, saya kembali ke tepi untuk makan. Makan siang di pantai adalah makan siang ternikmat.
Tidak henti-hentinya saya bersyukur karena diperlihatkan keindahan pantai seperti pantai Tulus ini. Meskipun perjalanan yang harus ditempuh membutuhkan perjuangan panjang, tapi apa yang dilihat sungguh tiada terkira.
Terimakasih, Tuhan...