Friday, September 28, 2012

Sayang...


Kopi hitam kesukaanmu sudah kusiapkan di atas meja
Asapnya yang tanpa warna mengantarkan aroma rindu
 Aroma rinduku padamu
 Sebentar, ijinkan aku untuk merias wajahku
Aku ingin tampil seindah mungkin di depanmu, Sayang…
 Mengenakan senyum terbaik menyambutmu pulang dari pengembaraan
Masuklah, Sayang…
 Tak usah kau ketuk pintu memberikan tanda padaku
 Masuk dan berikan kejutan dengan diam-diam memberikan pelukan
Biarkan diam yang mengabarkan
Biarkan diam yang berbicara
Biarkan diam yang bercerita
Seperti yang sudah kita lakukan selama hidup kita
 Lepaskan lelahmu
Berbaringlah di pangkuanku
 Biar kuusap dahimu yang berkeringat
 Ceritakanlah tentang apa saja
Atau kau mau aku nyanyikan lagu kesukaanmu, Sayang?
Akan aku nyanyikan dengan suaraku yang seadanya
 Pejamkan matamu
 Istirahtalah, Sayang…

Anggia Shitta Awanda, The New Gun


Pagi ini, tanggal 27 September 2012, pagi-pagi sekali saya sudah tiba di kantor. Sekitar pukul 6.30 waktu Geoservices dan sekitarnya, seperti biasa, saya membereskan beberapa pekerjaan kemarin yang belum sempat dibereskan sampai ketika tukang koran datang mengantarkan 3 koran langganan, Warta Kota, Bisnis Indonesia dan Media Indonesia.
 Koran yang saya buka pertama adalah Warta Kota, dan kolom favorit saya adalah olahraga. Seperti kebanyakan koran lokal, berita olahraga yang memenuhi rubrik olahraga adalah tentang sepakbola. Berita tentang banyaknya pemain MU yang cedera, foto Jose Mourinho dan beberapa berita yang saya malas untuk membacanya. Satu-satunya artikel yang bisa membuat saya tersenyum adalah artikel tentang Indonesia Open GPG yang memuat foto Simon Santoso yang sedang tertawa lebar. Simon Santoso tertawa? Ohhh so damn weird :D
Kemudian saya buka lagi koran yang satunya. Saya pilih Media Indonesia, karena saya tidak pernah punya niat untuk membaca Bisnis Indonesia yang isinya hanya angka-angka yang akan membuat saya ingat bahwa masih banyak invoice yang belum di-input. Ada satu artikel yang membuat saya kemudian serius membacanya. Judul artikel tersebut sudah sempat membuat saya tersenyum, “Anggia/Devi Membuat Kejutan”. Ya, Devi 
 Dialah Anggia Shitta Awanda, salah satu dari dua orang yang dibahas dalam artikel tersebut, orang yang baru 2 hari saya follow akun twitternya. Tidak banyak yang saya tahu tentang dia. Dan belum lama juga saya tahu tentang dia karena sebelumnya saya memang tidak terlalu memperhatikan atlet-atlet bulutangkis junior.

Baru beberapa bulan terakhir saya “mengenal” para junior yang ternyata sangat sering membuat saya terharu. Sebelumnya saya sempat dibuat terharu saat di Djarum Indonesia Open Super Series Premier, pasangan ganda putra besutan PB Djarum, Edi Subaktiar/Arya Maulana Aldiartama, meskipun akhirnya kalah sempat membuat ganda China, Chai Biao/Guo Zhendong, kerepotan. Senyum para junior yang masih mengandung senyum anak-anak memang selalu berhasil membuat mata saya memerah.
 Dan Anggia Shitta Awanda, satu dari banyak anak muda yang berhasil memerahkan mata saya. Bukan karena bersedih, tapi karena saya menahan sesuatu yang entah apa namanya. Sesuatu yang biasa saya rasakan di saat-saat saya bahagia akan sesuatu tapi tidak tau harus mengatakan apa. Mungkin saya akan menyebut itu bangga.
Banyak orang menyebutnya berkarakter seperti seniornya di Pelatnas, Greysia Polii. Gaya bermainnya, teriakannya, bahkan postur tubuhnya. Saya tidak ingin setuju dengan pendapat itu. Anggia adalah Anggia. Dia adalah sosok baru yang memiliki karakter sendiri. Bahkan saya lebih berharap, Anggia tidak seperti siapa-siapa. Dia harus menjadi dirinya sendiri, dengan prestasinya sendiri, dengan harapan sendiri, dengan Anggia yang Anggia sendiri.
 Dia, atlet muda masa depan Indonesia. Penerus tongkat estafet kejayaan bulutangkis Indonesia. Di tangannyalah kelak, bendera merah puti akan berkibar lagi di tiang tertinggi dunia. Di tangannyalah kelak, Indonesia Raya akan berkumandang lantang di hadapan masyarakat dunia.
Pernah sekali waktu air mata haru saya tiba-tiba meluncur turun dengan deras karena melihat foto Anggia saat bertanding di kejuaraan dunia junior. Matanya berkaca-kaca. Mungkin menahan rasa haru dan bangga. Saya membayangkan Indonesia Raya berkumandang diiringi Sang Merah Putih yang perlahan menaiki puncak tiang bendera ketika dia menangis bahagia. Dan saya tidak bisa menahan rasa bangga saya, walaupun pada saat itu saya masih belum tau siapa itu Anggia Shitta Awanda. Saya terlalu bangga sampai tidak bisa menahan air mata.
 Anggia, sosok murah senyum dan berwajah ceria ini mampu membuat saya percaya bahwa Indonesia masih punya harapan dan impian. Saya yakin, otot kuatnya akan dia berikan untuk Indonesia. Keringatnya akan menetes demi Indonesia.
 Tidak ada orang yang bisa kembali dan memulai awal yang baru, tapi semua orang dapat memulai hari ini dan membuat sebuah akhir yang baru.
 Buatlah sejarah, Anggia. Tuliskan namamu sebagai salah satu Dewi Wara Srikandi yang pernah dimiliki Indonesia. Dan saya, yang entah siapa ini, akan selalu berteriak lantang mendukung perjuangan atlet bulutangkis Indonesia di saat menang maupun kalah. Kapanpun itu. Bahkan saat banyak orang, bahkan pemerintah sendiri tidak memiliki rasa perduli.
 Berjuanglah untuk negaramu. Berjuanglah demi Indonesia. Jalan panjang masih membentang di depan sana. Tapakilah dengan penuh semangat dan doa. Dia, Sang Cahaya Maha Cahaya akan senantiasa menunjukkan jalan terang untuk orang-orang sepertimu. Untuk orang-orang yang berjuang meneteskan keringat bagi negaranya. Untuk orang-orang yang rela mengorbankan banyak hal untuk bangsanya.
 Terus berjuang, Anggia. Terbanglah serupa garuda dengan kepak sayapnya yang kuat mencengkeram merah putih di genggaman. Terbanglah di atas langit dunia yang biru menyambut kehadiranmu.
 Berteriaklah, Anggia. Teriakkan nama “Indonesia… Indonesia…” dengan teriakkan lantangmu. Biarkan Ibu Pertiwi tersenyum bangga memeluk mimpi-mimpimu.
 Terakhir sekali, Anggia, Indonesia bangga memiliki Srikandi sepertimu…

 Lilis Wiyatmo 27 September 2012

Rayya dan sebuah pengakuan


Beberapa hari yang lalu, berawal dari iseng saya menulis kalimat di jejaring soaial twitter pada Selasa malam. Sekitar pukul 20:00, saat masih di dalam metromini, saya iseng membaca timeline yang kebanyakan diisi oleh kicauan dari following saya dari Jogja. Seperti biasa, mereka bercanda. Sesekali saya tersenyum membaca kicauan mereka.

 Beberapa saat, saya yang masih terjebak macet di sepanjang jalan Saharjo – Pasarminggu, hanya me-refresh timeline sampai pada akhirnya saya membaca tetntang pemutaran film Rayya. Sebuah film garapan Pic[k]lock Production yang saya sering melihat banyak orang di linimasa saya membahasnya, tapi saya tidak memperhatikan. Pemutaran film Rayya akan dilakukan serentak pada tanggal 20 September 2012 dan saya tahu bahwa teman-teman pLettonic di Jogja mendapat tiket gratis untuk nonton bareng.

 Seperti yang saya tulis di awal, dengan iseng saya menulis “pLettonic Jakarta ga dapet tiket gratis film Rayya nih?”. Saya menulis tiket itu, jujur, sama sekali tidak untuk dibaca oleh orang yang bersangkutan dengan film tersebut. Karena memang dengan follower saya yang tidak seberapa, apalah arti kicauan saya itu.

Namun, tiba-tiba twit saya tersebut diretweet oleh mbak Evi Kafillah (@EviKafillah), teman saya yang juga pLettonic Jakarta. Beberapa menit kemudian, dengan tidak saya sangka, kicauan saya yang diretweet oleh mbak Evi, ditanggapi oleh mas Sabrang (@noegeese), vokalis dari Letto yang notabene adalah produser dari film tersebut.

Akhirnya, dengan tanggapan dari mas Sabrang, maka dengan penuh kenekatan, saya meminta tiket gratis kepada orang dari Kenduri Cinta (KC) bernama mas Roni (@roniocta). Saya meminta dengan menahan rasa malu sih sebenarnya. Karena memang saya bisa dibilang tidak mengenal orang tersebut dan orang tersebut jelas tidak tau saya. Dengan modal nekat, saya yang meminta follow back di twitter baru 3 kali, yang pertama pada mbak Neny kakak Fitria, lalu Thomi Azizan Mahbub dari PB Djarum yang terakhir saya tau bahwa itu bukan akun asli miliknya, dan yang terakhir adalah kepada mas Roni Octa tersebut.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya saya difollow oleh mas Roni dan saya langsung mengirim direct message kepada beliau yang isinya adalah menanyakan tiket gratis film Rayya. Singkatnya, mas Roni memberi kami 10 tiket untuk ditonton hari Kamis atau Jumat yang venue-nya bisa di mana saja. Akhirnya saya mengabarkan pada teman-teman pLettonic Jakarta tentang tiket gratis tersebut. Setelah berdiskusi dengan beberapa teman, disepakatilah mbak Evi kafillah yang akan mengambil tiket tersebut keesokan harinya di sebuah apartemen di kawasan Kalibata sepulang kerja.

Beberapa teman sudah diberi kabar sampai akhirnya tiket sudah yang berjumlah 10 buah itu sudah cukup dan pas untuk pLettonic Jakarta. Tidak seperti pLettonic Jogja yang menulis pengumuman di grup pLettonic Indonesia, saya memutuskan untuk tidak memberitahukan pada teman-teman di grup. Bukan karena ingin menyimpan tiketnya sendiri, tapi karena jumlah tiket yang terbatas.

 Keesokan harinya, kira-kira tengah hari ada sebuah panggilan telpon yang masuk ke handphone saya. Nomernya tidak dikenal, yang ternyata adalah telpon dari mas Hendra, road manager Letto. Beliau mengabarkan bahwa pLettonic Jakarta mendapatkan tiket lebih. Dan beliau juga menginstruksikan untuk mendata siapa saja yang akan ikut nonton tanggal 20. Kebetulan tanggal 20 September adalah Pilkada Jakarta putaran kedua, jadi kantor-kantor di Jakarta memang diliburkan.

 Setelah mengatakan kabar dari mas Hendra ini kepada Fitria dan mbak Evi, saya akhirnya menulis pengumuman di grup pLettonic Indonesia yang intinya adalah mengajak siapa saja yang di Jabodetabek untuk nonton bareng film Rayya di Blok m Square hari Kamis. Saya sertakan pula nomer hp saya yang biasanya jarang sekali saya berikan pada orang yang belum saya kenal.

 Konfirmasi terakhir adalah pukul 17.30 WIB karena mbak Evi akan berangkat ke Kalibata untuk mengambil tiket pada jam-jam tersebut. Saat saya tunggu sampai waktu yang disepakati, ternyata tidak ada orang yang konfirmasi untuk nobar tanggal 20. Malah ada 2 orang pLettonic di grup yang sepertinya ‘nggak nyambung’ dengan pengumuman yang saya tulis. Setelah kembali berdiskusi, Fitria mengatakan bahwa 2 orang pLettonic dari Depok yang tidak usah disebutkan namanya meminta untuk ketemuan jam 2 siang. Sebelumnya mbak Evi sudah meminta untuk nonton jam 4an sore karena dia menjadi petugas pemilihan suara. Saya mengiyakan keduanya, karena saya sendiri memang tidak bermasalah dengan waktu. Akhirnya disepakati untuk bertemu di Blok M Square, pukul 14.00.

 Keesokan harinya, kabar agak ngeselin datang dari Fitria bahwa duo Depok tidak bisa ketemuan jam 2 siang. Mereka hanya bisa bertemu di atas pukul 15.00 atau mungkin bisa lebih. Fitria bercerita penuh emosi karena sang duo yang dimaksud berkata dengan kalimat-kalimat yang agak sengak dan biking ga enak di hati. Apapun yang terjadi, kami tetap sepakat untuk bertemu pada pukul 14.00 di tempat yang sudah dijanjikan. Jam 1 siang saya baru beranjak dari tempat tidur. Tanpa sarapan dan hanya makan satu buah pisang, saya mandi dan bersiap-siap. Sekitar pukul 13.30 saya berangkat dengan menaiki metromini 75 jurusan Blok m – Pasarminggu.

 Sesampainya di tempat kejadian perkara yang tidak dikelilingi garis polisi, ternyata hampir semua pLettonic sudah sampai kecuali mas Didi dan mas Gre yang akhirnya juga tiba sekitar 10 menit kemudian. Kami pun masuk ke teater yang akan memutar film Rayya. Bioskop sepi dan hanya ada beberapa orang yang siap untuk menonton film tersebut.

Kami memilih deretan kursi bagian tengah. Dan kami dibagi menjadi 2 deretan. Saya duduk di deretan bagian belakang diapit Windy dan Fitria. Film pun diputar. 10 – 15 menit pertama saya masih bertahan dengan tontonan yang ada di depan saya sambil beberapa kali melakukan kebiasaan, protes.

 Saya sempat bilang ke Windy kalau Rayya, sang pemeran utama, abis nge-bir. Sampai di situ, menit – menit berlalu, mata saya memang tetap lekat pada layar. Tapi otak saya sama sekali belum menangkap apapun kecuali apa yang saya katakan ke Windy tadi. Itupun jelas salah. Karena saya cenderung pusing, akhirnya saya lebih banyak menunduk ke layar hp dan malah livescore pertandingan bulutangkis di Japan Open Super Series karena yang sedang adalah Simon Santoso, Taufik Hidayat, pasangan Muhamad Rijal/Liliyana Natsir, Markis Kido/Alvent Yulianto dan Yoke/Hendra AG.

 Beberapa saat saya livescore, Simon santoso pun akhirnya menang, dan pada keesokan harinya akan bertemu dengan seniornya, Taufik Hidayat di perempat final. Kemudian saya kembali ke layar bioskop sampai akhirnya saya terbangun dan entah sampai mana tadi cerita di film Rayya.

 Saya kembali ke layar hp, Muhamad Rijal/Liliyana Natsir sedang bertanding set kedua. Dan tidak lama kemudian mereka pun memenangkan pertandingan. Saya kembali lagi ke layar besar, entah apa yang sedang diceritakan di film tersebut. Yang saya tau, tidak berapa lama kemudian film berakhir. Dan kami pun keluar.

Saya keluar sambil mengambil kesimpulan paling bodoh. Film Rayya adalah film misteri. Yak, itulah yang bisa saya ambil dari film tersebut.

 Malam hari, setelah kami kembali ke rumah masing-masing, teman-teman pLettonic banyak yang bercerita tentang film Rayya. Mereka menceritakan argument masing-masing tentang film tersebut. Tinggallah saya yang langsung merasa rendah diri, terlebih saat saya membaca postingan dari pak Penyo bahwa kami, kalau bisa, diminta untuk menuliskan apa yang kami dapat dari film Rayya tersebut.

 Lalu, apa yang harus saya tulis???

 Skor antara Simon Santoso dan lawannyakah?

 Mengapa Liliyana berpasangan dengan Muhamad Rijal?

 Siapa saja yang ikut di japan Open?

 Atau apa warna baju yang dikenakan Lee Chong Wei?

 Atau, mengapa Shoji Sato seksi sekali???

 Ahhh damn!!

 Saya langsung merasa jatuh ke dasar paling dalam dan sendirian. Biasanya saya selalu ingat adegan film yang saya tonton. Bahkan di beberapa film saya sampai hapal dialognya walaupun hanya menonton sekali. Tapi di film ini, saya tidak mendapat satu hal pun yang bisa saya bawa pulang.

Hari itu saya hanya senang bisa berkumpul dengan teman-teman pLettonic Jakarta. Itu saja yang saya tau.

Jadi, maaf kepada yang telah memberikan tiket gratis kepada saya. Tiket gratis yang saya dapat memang tidak bisa saya manfaatkan sebaik-baiknya. Dan terakhir, biarlah film Rayya ini tetap menjadi film misteri bagi saya.

Sekali lagi, saya meminta maaf kepada pihak-pih

Friday, September 14, 2012

That's What Friends Are For


Sabtu, 21 Juli 2012 jam 7.00 pagi.

 Aku bangun dengan ingatan yang agak tersendat mengingat-ingat apa yang harus aku kerjakan hari itu. Ibu atau Bapakku yang biasanya rajin membangunkan tiap pagi hari itu anteng-anteng saja. Tak ada telpon berdering tanda suara Bapak akan segera terdengar menyuruh anak perempuan kecilnya yang kini sudah tidak kecil lagi ini untuk berolahraga pagi. Aku cek handphone-ku, aku ingat-ingat lagi apa yang sepertinya aku lupakan. Cek twitter, facebook, whatsapp dan yaaaah…

 Aku sampai pada nama Arin di kontak whatsapp-ku. Aku langsung ingat bahwa tanggal 21 Juli itu adalah hari yang penting. Selain memang itu adalah hari pertama puasa, tanggal 21 Juli itu, kami, kedtangan tamu dari Batu dan Bandung \(^^)/.

 Aku segera mengirim pesan ke Arin tentang waktu dan tempat kami ketemu. Arin berangkat dari rumah saudaranya di daerah Pasar Rebo dan aku akan menunggu di depan terminal Pasar Minggu. Begitulah perjanjiannya.

 Sekitar jam 8.30, aku bergegas berangkat dari kos-kosanku yang sudah aku aku tempati 5 tahun terakhir ini. Aku sengaja berjalan kaki dari kos ke Pasarminggu karena aku memang selo dan pengiritan ongkos yang kesemuanya aku bungkus dengan alasan biar sehat. Seperti biasanya, Pasarminggu di pagi hari tetaplah ramai dan semrawut meskipun weekend. Karena memang pedagang sayur dan buah tidak mengenal kata weekend. Kalau mereka libur di akhir pecan, mau makan apa kita? *oke, yang ini jangan diteruskan*

 Aku sudah hafal setiap lekuk yang ada di tempat tersebut. “ Semua tetap sama”, pikirku. Aku berjalan di tempat aku dan Arin akan bertemu, yaitu di depan R*binson. Aku sudah 2 kali bertemu Arin, tapi itu sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu. Dan saat itu Arin masih SMA dan rambutnya masih seperti Sherina Munaf. Menurut kabar yang beredar di dunia pergosipan, Arin sekarang sudah berjilbab dan mungkin sudah tidak lagi mirip Sherina Munaf.

Di dekat tukang buah, mataku yang silinder dan siwer ini sempat melihat seseorang berbaju garis-garis dan berjilbab merah dengan celana panjang coklat *atau coklat muda?*, berdiri melihat ke arahku. Aku abaikan karena aku piker aku tidak tau siapa dia dia, jadi untuk apa aku lama-lama pandang-pandangan. Aku terus berjalan melewati perempuan tadi dan menuju ke depan gedung tempat aku dan Arin janjian. Perempuan berjilbab merah tadi sepertinya masih melihat ke arahku. Tapi aku tetap mengabaikannya.

 Tealponku bergetar, telpon dari Arin. Dia menanyakan apakah aku memakai sweater berwarna coklat atau tidak. Aku jawab ‘iya’. Kemudian dia tertawa dan mengatakan bahwa dia adalah perempuan berkerudung merah dengan baju garis-garis yang tadi aku lewati. Sambil tertawa, aku berjalan ke arah perempuan tadi. Dan cuap-cuap pun terjadi. Memang mata dan ingatanku buruk sekali. Arin belum berhenti tertawa sampai kami akhirnya naik ke metromini bernomor 75 jurusan Pasarminggu-Blok M.

Obrolan ngalor-ngidul pun terjadi. Banyak yang kami bicarakan, namun seperti yang aku tulis tentang ingatanku yang buruk tadi, aku lupa apa yang kami bicarakan di metromini waktu itu. Jalanan pagi di sepanjang rute Pasarminggu - Blok M terpantau lancar *macak reporter*. Jalan raya Mampang yang biasanya macet di pagi hari. Tapi memang itu adalah hal yang wajar karena weekend dan hari pertama puasa.

 Sampailah kami di terminal Blok M. Terminal yang selalu menjadi titik point saat aku dan teman-teman pLettonic akan mengadakan “rapat”.

 Kami sudah sepakat untuk bertemu di dekat loket penjualan tiket bis Transjakarta yang berada di basement Blok M Mall. Kabar dari Dwi adalah bahwa dia sudah ada di tempat tersebut. Aku dan Arin berjalan berkeliling. Aku lihat ada perempuan berkerudung hijau atau apalah aku tidak tau.

 Jangan tanyakan masalah warna padaku. Lagi-lagi, aku pun agak bermasalah dengan warna. Arin sempat bilang bahwa mungkin itu adalah Dwi. Tapi aku dengan pedenya bilang bahwa pasti bukan. Padahal aku baru sekali ketemu Dwi dan itupun malam hari. Penglihatanku di siang hari saja kacau apalagi malam hari. Tak lama, Dwi menelpon. Menanyakan apakah aku memakai jilbab coklat, dan saat aku bilang iya, aku baru sadar bahwa orang Arin bilang adalah Dwi, itu memang benar dia.

 Another ‘siwer’ moment.

 Dan kami bertiga pun akhirnya duduk di tangga dekat tukan kaos kaki yang harganya 10 ribu 3. Entahlah kenapa aku malah ingat harga kaos kaki itu. Seperti wanita pada umumnya *aseeekkk*, kami ngobrol sana-sini sambil menunggu 3 personil lain yang belum datang.

 Fitria datang. Obrolan dilanjutkan.

 Tidak lama kemudian, yang ditunggu pun muncul. Seorang perempuan muda dengan baju putih lengan panjang dengan menggendong ransel berjalan terengah-engah sambil tersenyum malu-malu. Yak, dialah Metrika Woro Anjari. Sang pengagum drummer band Letto dari kota batu, Malang.

Satu hal yang langsung aku lakukan adalah mencubit pipinya. Pipi dari Metrika atau lebih familiar dipanggil Memed (pake D) memang sudah terkenal seantero jagad raya, bahkan sampai luar angkasa. Dan kesimpulan pertama dari pertemuan itu adalah bahwa jari Memed jauh lebih cerewet dari bibirnya. Karena Memed saat bertemu langsung sangat pendiam dan pemalu. Seperti pohon putri malu, Memed saat dipegang pipinya langsung menunduk.

 Dan kita tinggalkan dulu tentang pipinya Memed. Kita beralih ke satu actor lagi yang belum juga muncul. Yaaah, dialah Windy Aprisia Puspita yang bercita-cita pengen minum bir tapi takut. Sekitar jam 9 lewat, Windy baru terlihat muncul dengan gayanya yang khas yang susah untuk dideskripsikan. Personil sudah lengkap, saatnya beraksi.

 Ancollllll, here we cooommmmmeeeeee………………..

 Agak aneh sih sebenernya dengan keputusan untuk jalan-jalan ke pantai Ancol saat puasa pertama dengan keadaan cuaca yang mungkin mencapai 30 derajat celcius. Tapi ya namanya selo. Orang selo butuh piknik. Work hard, play harder.

 Bus Transjakarta hari itu juga sepi, jadi kami bisa memilih tempat duduk sesuai keinginan. Kami mengambil rute Blok M – Harmoni. Dari halte Harmoni, kami naik bus yang menuju Ancol. Seperti biasa, topic pembicaraan yang mendominasi adalah tentang “seseorang” yang pada saat itu sering meramaikan grup facebook pLettonic Indonesia. Sebut saja “mawar”. Hihihi…

 Setelah bahasan habis, aku dan Fitria yang duduk berdekatan, seperti biasa, membicarakan topic yang sering kami bicarakan, bulutangkis. Dan di situlah aku merasa dunia milik berdua *suram*.

Sekitar entah pukul berapa aku lupa, kami sampai di Ancol. Pembelian tiket pun dimulai. Setelah semua tiket ada di tangan, perjalanan pun dimulai. Perjalanan dalam arti yang sebenarnya, karena kami berenam harus berjalan mencari pantai yang jaraknya kalau diukur dengan penggaris, maka akan menghabiskan penggaris di semua toko di yang ada di Jakarta. Sebenarnya ada shuttle bus gratis yang bisa mengantarkan kami ke semua titik yang ada di kawasan Ancol. Tapi yang namanya tidak tau itu artinya nggak ngerti. Dan kami semua lupa akan pepatah yang diajarkan oleh guru bahasa Indonesia di SD bahwa “malu bertanya sesat di jalan”.

 Tapi setelah sesat di jalan, akhirnya bau-bau angin laut mulai tercium. Dan benar, kumpulan air yang luas bernama laut pun terlihat membiru berkilau dihantam cahaya pusat tata surya yang panasnya alaihim. Aku merasa seperti sedang berada di kampung halamanku, planet Venus.

 Acara pertama yang kami lakukan adalah foto. Bagiku, itu memang tujuan utamanya. Foto dengan latar belakang laut. Karena laut adalah tempat dimana kita bisa bebas bercerita tentang apa saja dan rencanaku hari itu adalah ingin meneriakkan sebuah nama. Karena laut adalah pak pos paling setia yang aku kenal sejak pertama kali aku menyentuh airnya. Pantai Ancol ternyata tidak seperti pantai yang aku bayangkan. Curam dan berminyak. Namun hal itu tidak mengurangi niat mulia kami untuk mengabadikan setiap moment yang ada. Aku sempat galau beberapa saat ketika duduk di batu-batu sambil menghadap ke laut.

 Perjalanan di lanjutkan.

 Kami menuju dermaga untuk kembali melakukan tugas Mulia, berfoto. Dan niatku yang sudah menggebu-gebu untuk meneriakkan sebuah nama akhirnya terlaksana. Tapi dengan volume yang jauh dari kata berteriak. Kalau aku adalah televisi, saat itu mungkin aku sedang memencet tombol “mute” di remote control. Nama yang aku teriakkan lebih terdengar seperti bisikan. Tak apalah, pak pos tau apa maksudku.

Di dermaga itu, terlihat beberapa wisatawan, mungkin dari Jepang atau Korea atau China.

 Lanjut, kami berjalan lagi mencari pasir pantai. Jelas lagi-lagi kami punya tujuan Mulia, menuliskan sebuah nama. Tapi lagi-lagi dan lagi, pasir yang kami cari terlihat kurang menyenangkan dan terlalu ramai. Maka sebagai kelompok karya ilmiah remaja, kami akhirnya jongkok di pinggir pantai yang sebenarnya agak kotor untuk melihat binatang mirip kecoa alias coro yang diakui Arin bahwa dia tau namanya tapi entah apa.

Tapi karena panas matahari seakan menusuk-nusuk kulit kami yang mulus, putih dan bersinar bak putri keraton ini, kami akhirnya berjalan lagi mencari suaka yang lebih baik lagi. Kami akhirnya duduk di bawah pohon-pohon yang di sebelahnya ada sekelompok anak-anak yang mungkin dari sebuah sekolah minggu yang sedang bermain. Kami duduk beralaskan Koran yang aku beli dengan harga Rp. 2000 di halte Transjakarta Blok M.

 Banyak hal kami bicarakan dan kami kerjakan sambil menahan rasa haus. Yang tetap tidak boleh kami lupakan adalah foto. Rencana awal kami adalah pulang pada pukul 14.30 karena Arin akan pulang ke Bekasi dan Dwi sendiri rumahnya di…..mana ya? Jauh lah pokoknya.

Sesuai rencana awal, jam 14.30 kami sudah bersiap-siap untuk pulang. Kami berjalan menyusuri jalanan yang panas. Dan berhentilah kami di pinggir pantai (lagi). Foto lagi. Lama lagi. Berbagai pose kami abadikan, dan sesi ini lebih lama dari sesi foto-foto yang pertama.

 Sekitar pukul 15.30 kami ‘berniat’ pulang. Kami berjalan ke arah ketika kami datang tadi. Namun apa daya, niat pulang kami terhenti saat kami bertemu sebuah penemuan teknologi termutakhir di planet bumi yang oleh penemunya diberi nama “ayunan”. Maka sesi foto pun dilanjutkan.

 Dan akhirnya, setelah tertunda untuk yang kedua kalinya, kami pun kembali melanjutkan niat untuk pulang. Sampai akhirnya niat itu kembali tertunda saat kami melihat tulisan besar “FESTIVAL”. Maka niat mulai kami pun kembali berlanjut. Dan nggak jadi pulang lagi. Lama lagi. Sampai kemudian ada shuttle bus gratis yang lewat dan kami harus benar-benar pulang.

Shuttle bus pun mengantar kami ke pemberhentian terakhir, dan bus Transjakarta pun datang. Kami masih bersama sampai di halte mana itu saya lupa, sampai akhirnya Dwi dan Arin turun untuk menuju halte Kampung Rambutan. Aku, Fitria, Memed dan Windy tetap berada 1 satu bus sampai di halte Blok M. Dan sampai di sini aku mulai sedih Bus pun berhenti di tujuannya, kami turun dan berpisah untuk kembali sesuai rute masing-masing.

 Kebersamaan hari itu memang singkat, tapi setiap kebersamaan tidak bisa dihitung dengan waktu. Dan kami, orang-orang yang dipertemukan oleh kecintaan kepada sebuah band asal Jogja bernama Letto, bisa membuktikan bahwa “A Friendship Comes From Every Sides”. Orang-orang yang sebelumnya sama sekali tidak saling mengenal, dapat melepas tawa bersama tanpa embel-embel nama apapun.

 Kami tertawa bersama sebagai sekumpulan sahabat. Kami tertawa tanpa memikirkan siapa yang lebih dulu mengenal Letto, siapa yang lebih dulu bertemu Letto, siapa yang lebih dekat dengan Letto dan apapun itu. Kami hanya tau bahwa kami adalah sekumpulan sahabat yang dipertemukan karena Letto.

 Terimakasih Letto  .

 Sampai berjumpa lagi, sahabat…

 We laugh together, we cry together, we can share anything together. Because we are friends. And that’s what friends are for.

 RULE : Buat temen-temen dari daerah lain yang ingin datang berkunjung ke Yakarta, dipersilahkan. Kami pLettonic Jakarta dan sekitarnya siap menyambut dengan tawa dan sambutan seadanya. Dan mohon diingat, kalau kami menjanjikan untuk bertemu pukul 09.00, itu berarti temen-temen dapat menambahkan sendiri waktunya setengah jam.

PSSI = PERSATUAN SEPAKBOLA SEMTENAN IKILHO


Pada awalnya, sebuah harapan pernah bergantung pada pundak seseorang bernama Djohar Arifin Husein. Saya sebenarnya kurang familiar dengar nama ini. Tapi menurut info, Bapak yang satu ini adalah mantan pemain sepakbola, sehingga bangsa Indonesia seperti melepas beban berat setelah sekian lama berteriak lantang menyebut dua kata, “Nurdin Turun”. Nurdin Halid adalah momok bagi kami, atau bagi saya mungkin lebih tepatnya. Delapan tahun memangku jabatan sebagai ketua umum PSSI tanpa prestasi berarti. Bahkan beliau pernah memimpin PSSI dari dalam bui. Dapat dikatakan, Nurdin Halid sama sekali tidak berhasil alias GAGAL. Kemudian muncullah berbagai kongres yang saya tidak tau namanya. Dan terpilihlah seorang Djohar Arifin Husein sebagai pengganti Nurdin Halid. Harapan baru terpancar dari ketua umum baru. Semangat kembali bangkit. Sampai ketika pemecatan seorang pelatih yang disebut-sebut sebagai pelatih sisa era Nurdin Halid, Alfred Riedl. Masyarakat pecinta sepakbola Indonesia kembali tercengang ketika tiba-tiba digulirkan sebuah kompetisi bertajuk Liga Primer Indonesia. Namun bukan masalah ini yangt membuat public tercengang, tapi keputusan di’haram’kannya Liga Super Indonesia. Alasannya –menurut yang saya tau- adalah karena Liga Super Indonesia adalah bentukan Nirwan Bakrie yang notabene adalah salah satu dari pengurus lama. Dan yang lebih membuat orang awam pun akan tercengang adalah semua pemain yang bermain di klub yang bernaung di bawah LSI dilarang bermain di Tim Nasional. Dengan alas an pembentukan bibit baru, nama-nama langganan Timnas seperti Bambang Pamungkas, Firman Utina, dan lain-lain, dicoret dari skuad Garuda. Memang, untuk alas an pembentukan usia muda, nama-nama tersebut di atas tak bisa dikatakan muda lagi. Tapi tidak cukup mudakah Okto Maniani, Patrich Wanggai, Titus Bonai, Yongki Aribowo, Andritany dan yang lain? Siapa yang meragukan kemampuan mereka? Bakat alam yang mereka miliki adalah bibit-bibit unggul yang kelak bisa mengambil alih tongkat estafet yang pernah dibawa oleh Bambang Pamungkas, dll. Mungkin pemain-pemain yang kini berada dalam skuad Timnas kelak akan menjadi duta-duta bangsa, namun mereka tidak bisa begitu saja diberi tongkat tanpa ada pembimbing dari generasi yang lebih senior. Ada Andik Vermansyah. Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada Andik Vermansyah. Secepat apapun Andik berlari, seterampil apapun dia bermain, tak ada gunanya bila dia harus melakukannya sendiri. Lihat betapa tangguh Timnas U-23 kita di Sea Games. Dewi Fortuna saja yang kala itu pergi begitu saja meninggalkan kita saat adu penalty. Lihatlah Egi Melgiansyah yang tetap berjuang memimpin tim walau dengan kaki terpincang-pincang. Apakah kita masih ingat perjuangan pahlawan-pahlawan lapangan hijau di Piala Asia 2007? Mereka adalah orang-orang yang dilarang bermain di Timnas saat ini. Bahkan sempat ada isu yang beredar bahwa pemain Timnas lama adalah mafia-mafia sepakbola dari rezim Nurdin Halid. Dan yang menyatakan hal tersebut adalah Bapak Djohar Arifin Husein. Di luar bahwa benar atau tidaknya isu tersebut, seharusnya kita semua mengingat perjuangan M.Nasuha di piala AFF. Dengan kepala berdarah dan diperban, dia tetap memaksakan diri untuk bermain. Dia menumpahkan darahnya untuk Indonesia, untuk bangsanya. Dengan mengedepankan ego masing-masing, akhirnya Timnas Indonesia, tim sepakbola yang mampu menyatukan Jakmania dan Bobotoh, Bonek dan Aremania, dikalahkan sepuluh gol tanpa balas oleh Brunei di laga pamungkas PPD zona Asia. Atas nama politik, Timnas U-21 Indonesia dikalahkan 2-0 oleh Brunei Darussalam di HBT 2012. BRUNEI DARUSSALAM mengalahkan Indonesia, Bung Dan dengan dua kekalahan tersebut, PSSI masih saja berdalih melontarkan bermacam alas an. “Publik Indonesia ingin sesuatu yang instan”. Begitulah kalimat yang ditulis oleh salah seorang juru bicara PSSI. Dengan mengirimkan pemain-pemain minim pengalaman ke kualifikasi PPD, bukanlah jelas siapa yang ingin sesuatu yang instant? Publik tidak ingin sesuatu yang instant. Didiklah dahulu anak-anak muda dari segala penjuru ibu pertiwi, persiapkan mereka dengan baik. Sementara itu, sembari menunggu bibit-bibit muda itu tumbuh menjadi buah segar, kita masih punya pemain-pemain yang tenaga, keringat, bahkan darahnya rela diberikan untuk Indonesia. Bila mereka sudah benar-benar “layu”, sudah kehilangan kecepatan berlari, sudah kehilangan ketajaman tendangan, kita punya bibit –bibit baru yang telah dididik dan dipersiapkan tersebut. Ini sepakbola, dan sepakbola Indonesia bukan milik satu orang atau satu kubu, tapi milik bangsa Indonesia. Apakah pak Djohar Arifin yang terhormat beserta anak buahnya tidak tertohok pada pengunduran diri Rahmad Darmawan? Seorang pelatih putra asli Indonesia yang digadang-gadang akan menjadi pelatih yang mampu meningkatkan martabat Indonesia. Apakah mereka tidak melihat mata berkaca-kaca dan suara tertahan seorang Aji Santoso saat baru tiba dari Bahrain? Tidakkah mereka melihat wajah datar Widodo C.Putro ketika harus menerima kenyataan bahwa anak asuhannya dikalahkan oleh Brunei 2-0? Tolonglah Bapak-Bapak di kursi PSSI sana, ingatlah senyum merekah Oktovianus Maniani, ingatlah tarian selebrasi Titus Bonai, ingatlah tangisan Kurnia Meiga saat adu penalty di final Sea Games 2011, ingatlah ekspresi kegembiraan Firman Utina, ingatlah Bustomi, ingatlah Arif Suyono, Hamka, Fery Rotinsulu, Ramdani, Hasim Kipuw, ingatlah kalau kalian tidak terkena amnesia seperti para tersangka korupsi itu. Ingatlah bila kalian memang masih punya HATI. PSSI adalah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Seluruh Indonesia, Pak. Bukan Persatuan Sepakbola Liga Primer Indonesia. Dan Bapak-Bapak sekalian bukanlah MUI yang bisa dengan mudah membuat fatwa haram. Maka, saya, seorang pecinta sepakbola Indonesia berdoa, semoga segera dihilangkan segala egoisme, kepentingan politik serta gengsi yang ada. Demi sepakbola Indonesia, demi bangsa dan masa putra-putra Garuda… Jakarta, 12 Maret 2012 Lilis Wiyatmo

Untuk Laut dan Senyumnya


Aku berharap sore ini adalah sore itu
  Sore saat dimana aku menemukan senyumanmu
Sore ketika gemetar di tangan ini aku tahan sekuat tenaga
 Tawa adalah hal pertama yang kita lakukan
Karena kakunya suasana begitu terasa
Namun dengan ribuan cara,
Kau dan senyummu mampu melelehkan beku itu, dan sepertinya, es batu di minuman kita juga meleleh karena hangat senyummu
Ah, entahlah, tulisanku masih saja tak enak dibaca
 Padahal ada beribu kata suka cita ingin aku tumpahkan untuk mengenang senyum hangatmu
Aku terlalu kenyang sore itu
Karena perutku tak butuh apa pun lagi setelah nyaring tawamu menggelitiknya
Dan sore itu, ditemani es batu yang mencair, ingin aku lukis lengkung senyummu di rinai hujan yang seperti menginginkan kita untuk bersama lebih lama…

 14 Januari 2012

Saya Reinkarnasi Gatotkaca


Jadi waktu SMP kelas 3, saya dan seorang teman saya pernah diramal oleh seorang guru matematika. Namanya pak Marga Mulya Handaka, biasa dipanggil pak Margo. Sumpah demi ikan sarden, saya nggak pernah nyambung kalau pak Margo ngajar. Waktu itu saya masuk sekolah siang. Pas jam istirahat, saya dan Puji, teman saya iseng menemui pak Margo di ruangannya. Tapi kami Cuma ngobrol lewat jendela.Ngobral-ngobrol-ngobral-ngobrol, tetiba pak Margo nanya weton kami. Tau weton kan? Iya, hari lahir Jawa. Jumat legi, kata Puiji. Lalu pak Margo ngeliat telapak tangan kiri Puji, baca garis tangannya. Lalu pak Margo bilang, katanya Puji akan bingung setelah lulus SMA, antara mau kuliah atau nikah. Dan dia akan menikah muda. Kekuatan dia ada di telunjuk kanannya. Saya ketawa ngikik bareng genderuwo se-NKRI waktu itu. Saya mikir, “Buat apaan kekuatan di telunjuk? Ngupil?” Abis itu pak Margo nanya weton saya, Sabtu Pahing, jawab saya. Dia menghitung jumlah weton saya dan langsung bilang,”Ini jumlah paling tinggi di antara semua weton, 18. Puji aja Cuma 14.” Itu saya nggak nyambung apa maksudnya. Kemudian dia melakukan hal yang sama pada telapak tangan kiri saya, membaca garis tangan. “ Kamu kalau nikah bakal jadi orang kaya, soalnya ada pertemuan rejeki antara kamu dan suami. Tapi kamu nikahnya masih lama, nggak secepet Puji.” Saya bersorak waktu itu, karena saya nggak cepet nikah kayak Puji. Tapi pas saya inget lagi sekarang, saya langsung “DHEEEGGGGG”. Saya jomblo,Bung. Dan saya takut. Jodoku piye Tuipppssss???? Terakhir, dia bilang sambil melotot,” Jangan pake telapak tangan kanan kamu buat nampar orang, terutama laki-laki.Bahaya.Brajamusti!!!” Saya nggak mudeng, Cuma angguk-angguk, geleng-geleng dan pegel. Dia melanjutkan, “Trah Pendowo Limo.” Kemudian selesai. Saya tau Pandawa Lima, tapi yang saya tau waktu itu ya sekedar yang saya dengar dari Bapak saya. Pandawa itu sepupuan sama Kurawa, tapi nggak akur. Anggotanya ada 5, Puntadewa, Werkudara, Permadi, Nakula-Sadewa. Dan pengetahuan saya tentang mereka ya begitulah, Cuma sedikit. Percaya nggak percaya sih, namanya ramalan ye kan, ya nggak. Sampai tiba-tiba waktu saya sibuk ngurus pendaftaran kuliah di Jakarta, saya denger kabar, lebih tepatnya curhatan dari Puji, dia bilang pengen kuliah, tapi emaknye nyuruh nikah. Dia bilang kalau dia bingung banget. Dia waktu itu cerita sambil hampir nangis. JENG JENG JENG….. Saya deg-degan, tapi pasti Puji nggak sadar waktu itu, satu ramalan pak Margo benar. Ada kali setaun saya kuliah di Jakarta, saya dikasih tau kalau Puji mau nikah, karena yah…begitulah. Anak muda jaman sekarang, suka ngeduluin waktu, ada sesuatu di perut Puji ketika itu, makanya dia nikah, TET TERET TEREEEEETTTT Saya makin deg-degan, ini ramalan pak Margo yang kedua. Oke, percaya nggak percaya. Cuma masalah kekuatan di jari telunjuk itu yang masih bikin saya pengen ngikik di jembatan ancol. Saya belum nikah, jadi belum ketauan ramalannya bener apa nggak. Terus ya emang saya nikahnya nggak secepet Puji. Tapi ya semoga saya bisa beneran jadi orang kaya pas udah nikah nanti. Yo ra??? Terus karena kebetulan saya udah kenal internet dan alangkah mudahnya saya bisa dapetin buku, saya baru tau dengan lebih ditel tentang tentang cerita Mahabarata, cerita pewayangan lah lebih tepatnya. Ya kan katanya saya ada trah Pandawa, hahaha… jadi selama ini pede-pede aja, merasa saya ini titisan dari Dewi Wara Srikandi. Soalnya selama ini saya yakin bologokin kalau Srikandi itu zodiaknya Gemini. Nah loh? Oke. Selain itu, dia anak perempuan bungsu dari 3 bersaudara, 2 perempuan 1 laki-laki. Lha apa nggak sama plek itu to yaaa??? Hahaha Saya pengen jadi pemain bola waktu kecil, Srikandi pengen jago manah. Tuh kan, kurang plek apa coba hayo??? Tapi terus say abaca biografinya seorang pria dari trah Pandawa di Wikipedia. Dia anak dari Werkudara atau Bima. Bima menikahi wanita keturunan raksasa, namanya Arimbi. Terus punya anak cowok, dikasih nama Jabang Tetuko. Saya sering denger sih tentang nama ini dari bapak. Nah, si Jabang Tetuko ini waktu lahir pusernya nggak mau puput, nempel terus. Akhirnya, singkat cerita dia dibawa ke kahyangan, lalu oleh para Dewa dia dimasukkan ke Kawah Candradimuka, dilempari pusaka-pusaka. Kemudian dia keluar sebagai seorang yang sakti mandraguna tapi baik hati. Ototnya dari kawat, tulangnya dari besi. Dan dia bisa terbang tanpa sayap. Sangar po ra Tuip? Lah pas ada perebutan kekuasaandi kerajaan emaknya, dia dikasih takhta buat jadi raja. Tapi paman-pamannya ada yang pro dan kontra. Terus dua orang pamannya berantem, satunya dukung dia, satunya nggak. Tapi dua-duanya akhirnya pada mati karena berantem. Pamannya yang kontra namanya Brajadenta, roh dan kekuatannya masuk ke tangan kirinya. Dan pamannya yang pro, roh dan kekuatannya masuk ke telapak tangan kanan. Nama pamannya itu BRAJAMUSTI!!! JREENNNGGGGG Saya sempet pelototin telapak tangan kanan saya, ya apa bener tangan ini ada Brajamusti-nya? Saya malah ngekek lagi. Dan Anda tau siapa si Jabang Tetuko itu sodara-sodara? DIA GATOTKACA PEMIRSA, GATOTKACA!!! Ya masa saya udah seneng-seneng nyangka kalau saya titisannya Srikandi, emalah Gatotkaca  Hadoh, jagat dewo bethoro… Etapi yang lebih absurd lagi adalah satu, ngapain saya niat banget ngerasa saya ini datang dari dunia Wiracarita Pewayangan? Padahal paling banter saya ini keturunan dari pembantunya Tribuana Tunggadewi dari Majapahit. Yang ini serius, beneran emang buyut dari buyutnya buyut saya adalah PEMBANTU dari Tribuana Tunggadewi  Hidup saya emang selo banget, jadi sempet menelusuri yang model begini…

Tentang Kamu Setelah Hujan


Dia mengenakan kemeja biru yang digulung di bagian lengan hingga ke siku,serta celana bahan hitam yang masih meninggalkan garis bekas disetrika.Penampilannya berbeda dari ketika dulu aku sering melihatnya.Rambutnya pendek cepak dan diberi sedikit gel yang aromanya memaksa bulu hidungku untuk berdiri. Rokok yang tinggal tersisa separuh masih terjepit di tangan kanannya sambil sesekali mampir ke bibir untuk dihisap. Asap yang timbul mengelilingi seputaran kepalanya. Udara sejuk mengaliri tubuhku yang dibalut sweater kuning tebal. Aroma hujan masih tersisa, masih sama seperti aroma hujan yang tercium ketika aku bertemu dengannya di sebuah tempat makan, sore itu. “Hai…”, sapaku ragu-ragu sambil memberanikan diri menepuk pundaknya dari belakang. Kepalanya menoleh ke belakang, ke arahku, menawarkan mata yang pernah sangat lekat menemani hari-hariku. “Hai, sini duduk.” katanya sambil menarik sebuah kursi untukku. Dia meletakkan rokok yang sudah hamper habis dihisapnya ke dalam asbak di atas meja di depan kami. “Aku pesenin kopi hitam,ya. Kamu masih suka kopi hitam, kan/” tanyanya melanjutkan. Aku hanya mengangguk. Hening. Sepuluh menit berlalu dalam dian sampai ketika akhirnya seorang pelayan dating meletakkan dua cangkir kopi hitam di atas meja. “Apa kabar?” tanyanya memecah diam. “Aku tau semua orang akan menanyakan hal yang sama seperti yang baru kamu ucapkan ketika baru bertemu setelah berpisah lama. Tapi aku yakin kamu punya pertanyaan lain yang lebih bermakna selain sekedar “apa kabar”.” jawabku panjang lebar sambil meletakkan cangkir kopi yang baru aku minum di atas meja. Dia tersenyum, menyeruput kopinya dan menyandarkan punggungnya di kursi. “Kamu tetap sama, nggak berubah.” lanjutnya menimpali. Akumenundukkan kepala, menatap jari-jari tanganku dan akhirnya berhenti di jari manis yang dilingkari cincin berwarna putih. Aku memang tetap sama seperti dulu, tak pernah berubah kecuali aku yang memang sudah mengikrarkan janji di depan penghulu. *** Kopi hitam di depanku masih tersisa separuh, mendingin tertiup angina sore setelah hujan. Kami kembali terdiam, seperti pertemuan yang sudah-sudah. Aku merasakan tatap matanya menusuk-nusuk ulu hati, sampai ke sumsum tulang belakangku. Melunturkan rindu yang sudah membeku bersama waktu-waktu yang aku jalani selama pernikahanku. “Aku bahagia dengan pernikahanku dan aku sedang hamil tiga bulan sekarang. Dan akan melahirkan anak yang pasti akan meramaikan rumah kami.” Ceritaku mencoba membuka kekakuan. “Oh ya/ Selamat ya, istriku baru saja melahirkan empat bulan yang lalu,” Suaranya melemah datar. “ aku tau kamu pasti sangat bahagia.” Lanjutnya. “Ya, aku bahagia. Tapi suamiku selalu bilang bahwa masih ada kamu di mataku. Dia selalu menangkap senyummu di mataku.” Aku menundukkan kepala menghindari mata yang tatapnya pasti akan kembali menusuk hatiku. “Aku selalu bingung, kenapa kita tidak bisa bersama?” tanyanya memekakkan gendang telingaku, menyampaikan lewat urat syaraf dan mengarahkannya ke kelenjar air mata, membasahi retina mataku, walaupun dia bertanya begitu pelan. Aku merasakan lidahku kaku dan tak berfungsi. Sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa menjawab pertanyaan itu, karena aku pun sudah sangat sering menanyakannya pada diriku sendiri, tapi jawabannya nihil. *** Aku masih sangat ingat pertemuan pertamakudengannya di suatu sore, hujan baru saja reda ketika itu. Sama seperti saat ini. Bahkan aku harus berjingkat saaat berjalan untuk menghindari genangan air. Senyum itu masih sama. Hangat seperti matahari jingga yang beranjak tenggelam sore itu. Senyum itu adalah senyum yang mengembang ketika pesta pernikahanku digelar tiga tahun lalu. Aku sendiri malah tidak mampu datang ke pernikahannya meskipun aku sudah lebih dulu menikah. Aku menyadari, aku sangat pengecut. Aku bahkan tidak mampu menolak kehadirannya yang selalu datang setelah hujan, seperti pelangi. Yah, dia adalah bayangan yang tetap hadir meski saat bibirku sedang bertemu dengan bibir suamiku. “ Aku ke toilet sebentar,ya.” Pamitku sambil bersiap berlari meninggalkannya.Tangan kokohnya sigap menggapai tanganku. “Kenapa kamu selalu berlari meninggalkanku/” tanyanya pelan. Matanya sendu. Aku menarik nafas panjang. “Karena aku terlalu pelan setiap berjalan, apalagi untuk mengimbangi jalanmu. Tapi nyatanya, saat berlari, aku terlalu cepat untukmu.” Jawabku smabil berlalu. Tangannya terlepas pelan, seakan tetap ingin menahanku. *** “Sore… Aku tak pernah berharap akan ada hari ini. Karena terlalu berat ketika pada akhirnya matahri esok akan muncul dan aku mendapati diriku terbangun dengan ketergesaan menyingkirkan rinduku padamu. Kita sudah terlalu lama diam memaku membuat rindu menjadi beku. Mungkin kisah ini akan berakhir segera, entah esok, lusa atau malah tak akan pernah bisa diakhiri. Yang aku tau, aku pernah ingin pulang ke hatimu, namun ternyata hatimu bukan rumahku. Kamu, pulanglah bersama kisah yang entah kenapa harus digariskan untuk kita. Aku ingin kita bersyukur bahwa kita tidak harus bersama. Karena kita tahu, ketika bersama, jiwa kita akan tetap merasa terasing dan sendirian. Maka, lagi, pulanglah bersama kisah ini. Pulanglah bersama hujan yang telah reda. Ingatlah Tuhan kita dan janji-janji kita pada-Nya.” Aku lipat kertas puith yang aku minta dari seorang pelayan sebelum aku masuk ke toilet dan memenuhi kertas itu dengan tulisan yang sudah sejak lama ingin aku katakana, tapi tak pernah bisa. Lalu aku buka dompetku, aku ambil sebuah foto yang sudah tersimpan di situ sejak bertahun-tahun yang lalu. Aku keluar dari toilet dan kembali menemuinya. Alku pegang tangan kanannya dan aku letakkan kertas itu di atasnya. Dengan lemas, aku beranikan diri menatap mata itu. Mata luar biasa dalam dan tak pernah sanggup aku salami. “Sore yang Indah. Terimakasih untuk sore yang Indah setelah hujan dari kamu.” Aku paksakan untuk memberanikan senyum terbaik yang aku miliki. Denagn gontai, aku melangkah meninggalkannya terpaku di atas temapt duduk.. Hening. *** Hujan kembali turun ketika matahari bersembunyi di kamarnya. Jendela aku biarkan terbuka agar angina dapat masuk dengan leluasa untuk menemaniku yang hanya berteman secangkir kopi hitam. Minuman yang sebenarnya sangat tak baik untuk janin di kandunganku. Tapi ini minuman yang selalu berhasil mengingatkanku tentangnya. Kuraba perutku. Suamiku telah menanamkan benih di dalamnya, dan aku harus menjaganya. Tiba-tiba ponselku bergetar, tertera namanya di kotak masuk pesan. “Satu yang akan aku sedihkan setiap sore setelah hujan, adalah tak akan ada lagi senyummu dari seberang jalan.” Hening. *** Setiap sore setelah hujan, masih bisa aku lihat senyummu di seberang jalan, dengan mata yang menatap dalam, mata yang bayangannya tak akan pernah hilang. Setiap sore setelah hujan, akan aku bawa baying matamu hingga kehidupan selanjutnya. SELESAI

Fly, Edi. Fly!!!


Edi Subaktiar, sebuah nama yang terdengar asing bagi orang-orang yang jauh dari bulutangkis. Bahkan bagi saya, nama ini pun baru terasa dekat beberapa bulan terakhir ini.

 Iya, dialah atlet bulutangkis junior besutan PB Djarum yang berhasil menyabet gelar Juara Asia Boy’s Doubled 2012 di Korea pertengahan tahun lalu.

 Datang tanpa embel-embel unggulan, Edi, yang kala itu berpasangan dengan Arya Maulana Aldiartama, berhasil membawa medali juara dengan perjuangan 3 set yang dramatis. Semangat muda mereka yang menyala sering membuat saya berkaca-kaca dan merinding karena saya merasa yakin bahwa Indonesia punya satu lagi harapan di masa mendatang.

 Datang dari Sidoarjo, jawa Timur, Edi muda membawa segepok harapan bagi masa depannya, juga masa depan dunia bulutangkis Indonesia. “Tidak ada yang tidak mungkin”, begitu dia pernah berkata di sebuah video.

 Dan memang akan sangat mungkin suatu saat, Edi, entah bersama siapa pun nanti dia berpasangan, akan berhasil merebut kembali supremasi tertinggi bulutangkis milik Indonesia. Semangat kuat dan tingkah laku yang baik adalah salah satu poin plus yang dia miliki.

 Meskipun sudah bergelar juara Asia Junior, tidak ada kata sombong terbersit dari wajahnya. Saya memang baru beberapa kali bertemu dengan sosok muda ini dan beberapa kali pula berkomunikasi melalui whatsapp messenger.

Namun dari hanya beberapa kali itu saya sudah yakin dengan mantap bahwa inilah bibit unggul yang harus dirawat oleh Indonesia. Jangan sampai bakat-bakat seperti ini kemudian tertelan oleh keserakahan politik yang memang biasanya selalu saja mewarnai dunia olahraga Indonesia.

 Edi saat ini sedang berusaha belajar untuk terbang. Sayap-sayapnya sedang berkembang untuk bersiap mengepak di udara. Di pundaknyalah Indonesia kelak bisa menitipkan harapan untuk kembali mengibarkan merah putih di tiang tertinggi dunia.

 Edi, sang “Obama” berhati lembut yang dengan senyum malu-malunya selalu berkata bahwa orang tua adalah segalanya baginya. Orang tua yang telah melepasnya untuk berjalan sendiri meninggalkan kampung halaman menyusuri jalan panjang yang akan membawanya ke sebuah tempat bernama masa depan cerah.

Teruslah rawat sayap-sayapmu, Edi. Bawa merah putih terbang mengangkasa bersama kepakmu mengitari dunia.

 Fly,Edi. Fly!!!

 Jakarta, 13 September 2012 07:50

Tuesday, September 11, 2012

Kepada Venus...


Kepada Venus yang berkedip saat fajar, masih ingat aku? Perempuan yang waktu menitipkan surat padamu untuk seseorang di Mars. Sudahkah kau sampaikan padanya? Apa katanya? Tidakkah dia membalas suratku? Ah, sudahlah, tak apa bila dia tak membalasnya. Suatu saat bila kau melintas di dekat orbitnya, teriakkan sesuatu, Venus. Sampaikan aku sangat merindukan seseorang di sana. Katakanlah untuk datang ke bumi, secepatnya...