Sabtu, 21 Juli 2012 jam 7.00 pagi.
Aku bangun dengan ingatan yang agak tersendat mengingat-ingat apa yang harus aku kerjakan hari itu. Ibu atau Bapakku yang biasanya rajin membangunkan tiap pagi hari itu anteng-anteng saja. Tak ada telpon berdering tanda suara Bapak akan segera terdengar menyuruh anak perempuan kecilnya yang kini sudah tidak kecil lagi ini untuk berolahraga pagi.
Aku cek handphone-ku, aku ingat-ingat lagi apa yang sepertinya aku lupakan. Cek twitter, facebook, whatsapp dan yaaaah…
Aku sampai pada nama Arin di kontak whatsapp-ku. Aku langsung ingat bahwa tanggal 21 Juli itu adalah hari yang penting. Selain memang itu adalah hari pertama puasa, tanggal 21 Juli itu, kami, kedtangan tamu dari Batu dan Bandung \(^^)/.
Aku segera mengirim pesan ke Arin tentang waktu dan tempat kami ketemu. Arin berangkat dari rumah saudaranya di daerah Pasar Rebo dan aku akan menunggu di depan terminal Pasar Minggu. Begitulah perjanjiannya.
Sekitar jam 8.30, aku bergegas berangkat dari kos-kosanku yang sudah aku aku tempati 5 tahun terakhir ini. Aku sengaja berjalan kaki dari kos ke Pasarminggu karena aku memang selo dan pengiritan ongkos yang kesemuanya aku bungkus dengan alasan biar sehat.
Seperti biasanya, Pasarminggu di pagi hari tetaplah ramai dan semrawut meskipun weekend. Karena memang pedagang sayur dan buah tidak mengenal kata weekend. Kalau mereka libur di akhir pecan, mau makan apa kita? *oke, yang ini jangan diteruskan*
Aku sudah hafal setiap lekuk yang ada di tempat tersebut. “ Semua tetap sama”, pikirku.
Aku berjalan di tempat aku dan Arin akan bertemu, yaitu di depan R*binson. Aku sudah 2 kali bertemu Arin, tapi itu sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu. Dan saat itu Arin masih SMA dan rambutnya masih seperti Sherina Munaf. Menurut kabar yang beredar di dunia pergosipan, Arin sekarang sudah berjilbab dan mungkin sudah tidak lagi mirip Sherina Munaf.
Di dekat tukang buah, mataku yang silinder dan siwer ini sempat melihat seseorang berbaju garis-garis dan berjilbab merah dengan celana panjang coklat *atau coklat muda?*, berdiri melihat ke arahku. Aku abaikan karena aku piker aku tidak tau siapa dia dia, jadi untuk apa aku lama-lama pandang-pandangan. Aku terus berjalan melewati perempuan tadi dan menuju ke depan gedung tempat aku dan Arin janjian. Perempuan berjilbab merah tadi sepertinya masih melihat ke arahku. Tapi aku tetap mengabaikannya.
Tealponku bergetar, telpon dari Arin. Dia menanyakan apakah aku memakai sweater berwarna coklat atau tidak. Aku jawab ‘iya’. Kemudian dia tertawa dan mengatakan bahwa dia adalah perempuan berkerudung merah dengan baju garis-garis yang tadi aku lewati. Sambil tertawa, aku berjalan ke arah perempuan tadi. Dan cuap-cuap pun terjadi. Memang mata dan ingatanku buruk sekali. Arin belum berhenti tertawa sampai kami akhirnya naik ke metromini bernomor 75 jurusan Pasarminggu-Blok M.
Obrolan ngalor-ngidul pun terjadi. Banyak yang kami bicarakan, namun seperti yang aku tulis tentang ingatanku yang buruk tadi, aku lupa apa yang kami bicarakan di metromini waktu itu.
Jalanan pagi di sepanjang rute Pasarminggu - Blok M terpantau lancar *macak reporter*. Jalan raya Mampang yang biasanya macet di pagi hari. Tapi memang itu adalah hal yang wajar karena weekend dan hari pertama puasa.
Sampailah kami di terminal Blok M. Terminal yang selalu menjadi titik point saat aku dan teman-teman pLettonic akan mengadakan “rapat”.
Kami sudah sepakat untuk bertemu di dekat loket penjualan tiket bis Transjakarta yang berada di basement Blok M Mall. Kabar dari Dwi adalah bahwa dia sudah ada di tempat tersebut.
Aku dan Arin berjalan berkeliling. Aku lihat ada perempuan berkerudung hijau atau apalah aku tidak tau.
Jangan tanyakan masalah warna padaku. Lagi-lagi, aku pun agak bermasalah dengan warna. Arin sempat bilang bahwa mungkin itu adalah Dwi. Tapi aku dengan pedenya bilang bahwa pasti bukan. Padahal aku baru sekali ketemu Dwi dan itupun malam hari. Penglihatanku di siang hari saja kacau apalagi malam hari.
Tak lama, Dwi menelpon. Menanyakan apakah aku memakai jilbab coklat, dan saat aku bilang iya, aku baru sadar bahwa orang Arin bilang adalah Dwi, itu memang benar dia.
Another ‘siwer’ moment.
Dan kami bertiga pun akhirnya duduk di tangga dekat tukan kaos kaki yang harganya 10 ribu 3. Entahlah kenapa aku malah ingat harga kaos kaki itu.
Seperti wanita pada umumnya *aseeekkk*, kami ngobrol sana-sini sambil menunggu 3 personil lain yang belum datang.
Fitria datang. Obrolan dilanjutkan.
Tidak lama kemudian, yang ditunggu pun muncul. Seorang perempuan muda dengan baju putih lengan panjang dengan menggendong ransel berjalan terengah-engah sambil tersenyum malu-malu. Yak, dialah Metrika Woro Anjari. Sang pengagum drummer band Letto dari kota batu, Malang.
Satu hal yang langsung aku lakukan adalah mencubit pipinya. Pipi dari Metrika atau lebih familiar dipanggil Memed (pake D) memang sudah terkenal seantero jagad raya, bahkan sampai luar angkasa.
Dan kesimpulan pertama dari pertemuan itu adalah bahwa jari Memed jauh lebih cerewet dari bibirnya. Karena Memed saat bertemu langsung sangat pendiam dan pemalu. Seperti pohon putri malu, Memed saat dipegang pipinya langsung menunduk.
Dan kita tinggalkan dulu tentang pipinya Memed. Kita beralih ke satu actor lagi yang belum juga muncul. Yaaah, dialah Windy Aprisia Puspita yang bercita-cita pengen minum bir tapi takut. Sekitar jam 9 lewat, Windy baru terlihat muncul dengan gayanya yang khas yang susah untuk dideskripsikan.
Personil sudah lengkap, saatnya beraksi.
Ancollllll, here we cooommmmmeeeeee………………..
Agak aneh sih sebenernya dengan keputusan untuk jalan-jalan ke pantai Ancol saat puasa pertama dengan keadaan cuaca yang mungkin mencapai 30 derajat celcius. Tapi ya namanya selo. Orang selo butuh piknik. Work hard, play harder.
Bus Transjakarta hari itu juga sepi, jadi kami bisa memilih tempat duduk sesuai keinginan. Kami mengambil rute Blok M – Harmoni. Dari halte Harmoni, kami naik bus yang menuju Ancol.
Seperti biasa, topic pembicaraan yang mendominasi adalah tentang “seseorang” yang pada saat itu sering meramaikan grup facebook pLettonic Indonesia. Sebut saja “mawar”. Hihihi…
Setelah bahasan habis, aku dan Fitria yang duduk berdekatan, seperti biasa, membicarakan topic yang sering kami bicarakan, bulutangkis. Dan di situlah aku merasa dunia milik berdua *suram*.
Sekitar entah pukul berapa aku lupa, kami sampai di Ancol. Pembelian tiket pun dimulai. Setelah semua tiket ada di tangan, perjalanan pun dimulai. Perjalanan dalam arti yang sebenarnya, karena kami berenam harus berjalan mencari pantai yang jaraknya kalau diukur dengan penggaris, maka akan menghabiskan penggaris di semua toko di yang ada di Jakarta.
Sebenarnya ada shuttle bus gratis yang bisa mengantarkan kami ke semua titik yang ada di kawasan Ancol. Tapi yang namanya tidak tau itu artinya nggak ngerti. Dan kami semua lupa akan pepatah yang diajarkan oleh guru bahasa Indonesia di SD bahwa “malu bertanya sesat di jalan”.
Tapi setelah sesat di jalan, akhirnya bau-bau angin laut mulai tercium. Dan benar, kumpulan air yang luas bernama laut pun terlihat membiru berkilau dihantam cahaya pusat tata surya yang panasnya alaihim. Aku merasa seperti sedang berada di kampung halamanku, planet Venus.
Acara pertama yang kami lakukan adalah foto. Bagiku, itu memang tujuan utamanya. Foto dengan latar belakang laut. Karena laut adalah tempat dimana kita bisa bebas bercerita tentang apa saja dan rencanaku hari itu adalah ingin meneriakkan sebuah nama. Karena laut adalah pak pos paling setia yang aku kenal sejak pertama kali aku menyentuh airnya.
Pantai Ancol ternyata tidak seperti pantai yang aku bayangkan. Curam dan berminyak. Namun hal itu tidak mengurangi niat mulia kami untuk mengabadikan setiap moment yang ada. Aku sempat galau beberapa saat ketika duduk di batu-batu sambil menghadap ke laut.
Perjalanan di lanjutkan.
Kami menuju dermaga untuk kembali melakukan tugas Mulia, berfoto. Dan niatku yang sudah menggebu-gebu untuk meneriakkan sebuah nama akhirnya terlaksana. Tapi dengan volume yang jauh dari kata berteriak. Kalau aku adalah televisi, saat itu mungkin aku sedang memencet tombol “mute” di remote control. Nama yang aku teriakkan lebih terdengar seperti bisikan. Tak apalah, pak pos tau apa maksudku.
Di dermaga itu, terlihat beberapa wisatawan, mungkin dari Jepang atau Korea atau China.
Lanjut, kami berjalan lagi mencari pasir pantai. Jelas lagi-lagi kami punya tujuan Mulia, menuliskan sebuah nama. Tapi lagi-lagi dan lagi, pasir yang kami cari terlihat kurang menyenangkan dan terlalu ramai. Maka sebagai kelompok karya ilmiah remaja, kami akhirnya jongkok di pinggir pantai yang sebenarnya agak kotor untuk melihat binatang mirip kecoa alias coro yang diakui Arin bahwa dia tau namanya tapi entah apa.
Tapi karena panas matahari seakan menusuk-nusuk kulit kami yang mulus, putih dan bersinar bak putri keraton ini, kami akhirnya berjalan lagi mencari suaka yang lebih baik lagi.
Kami akhirnya duduk di bawah pohon-pohon yang di sebelahnya ada sekelompok anak-anak yang mungkin dari sebuah sekolah minggu yang sedang bermain. Kami duduk beralaskan Koran yang aku beli dengan harga Rp. 2000 di halte Transjakarta Blok M.
Banyak hal kami bicarakan dan kami kerjakan sambil menahan rasa haus. Yang tetap tidak boleh kami lupakan adalah foto.
Rencana awal kami adalah pulang pada pukul 14.30 karena Arin akan pulang ke Bekasi dan Dwi sendiri rumahnya di…..mana ya? Jauh lah pokoknya.
Sesuai rencana awal, jam 14.30 kami sudah bersiap-siap untuk pulang. Kami berjalan menyusuri jalanan yang panas. Dan berhentilah kami di pinggir pantai (lagi). Foto lagi. Lama lagi. Berbagai pose kami abadikan, dan sesi ini lebih lama dari sesi foto-foto yang pertama.
Sekitar pukul 15.30 kami ‘berniat’ pulang. Kami berjalan ke arah ketika kami datang tadi. Namun apa daya, niat pulang kami terhenti saat kami bertemu sebuah penemuan teknologi termutakhir di planet bumi yang oleh penemunya diberi nama “ayunan”. Maka sesi foto pun dilanjutkan.
Dan akhirnya, setelah tertunda untuk yang kedua kalinya, kami pun kembali melanjutkan niat untuk pulang. Sampai akhirnya niat itu kembali tertunda saat kami melihat tulisan besar “FESTIVAL”. Maka niat mulai kami pun kembali berlanjut. Dan nggak jadi pulang lagi. Lama lagi.
Sampai kemudian ada shuttle bus gratis yang lewat dan kami harus benar-benar pulang.
Shuttle bus pun mengantar kami ke pemberhentian terakhir, dan bus Transjakarta pun datang. Kami masih bersama sampai di halte mana itu saya lupa, sampai akhirnya Dwi dan Arin turun untuk menuju halte Kampung Rambutan. Aku, Fitria, Memed dan Windy tetap berada 1 satu bus sampai di halte Blok M. Dan sampai di sini aku mulai sedih
Bus pun berhenti di tujuannya, kami turun dan berpisah untuk kembali sesuai rute masing-masing.
Kebersamaan hari itu memang singkat, tapi setiap kebersamaan tidak bisa dihitung dengan waktu. Dan kami, orang-orang yang dipertemukan oleh kecintaan kepada sebuah band asal Jogja bernama Letto, bisa membuktikan bahwa “A Friendship Comes From Every Sides”. Orang-orang yang sebelumnya sama sekali tidak saling mengenal, dapat melepas tawa bersama tanpa embel-embel nama apapun.
Kami tertawa bersama sebagai sekumpulan sahabat. Kami tertawa tanpa memikirkan siapa yang lebih dulu mengenal Letto, siapa yang lebih dulu bertemu Letto, siapa yang lebih dekat dengan Letto dan apapun itu. Kami hanya tau bahwa kami adalah sekumpulan sahabat yang dipertemukan karena Letto.
Terimakasih Letto .
Sampai berjumpa lagi, sahabat…
We laugh together, we cry together, we can share anything together. Because we are friends. And that’s what friends are for.
RULE : Buat temen-temen dari daerah lain yang ingin datang berkunjung ke Yakarta, dipersilahkan. Kami pLettonic Jakarta dan sekitarnya siap menyambut dengan tawa dan sambutan seadanya. Dan mohon diingat, kalau kami menjanjikan untuk bertemu pukul 09.00, itu berarti temen-temen dapat menambahkan sendiri waktunya setengah jam.