Dia mengenakan kemeja biru yang digulung di bagian lengan hingga ke siku,serta celana bahan hitam yang masih meninggalkan garis bekas disetrika.Penampilannya berbeda dari ketika dulu aku sering melihatnya.Rambutnya pendek cepak dan diberi sedikit gel yang aromanya memaksa bulu hidungku untuk berdiri.
Rokok yang tinggal tersisa separuh masih terjepit di tangan kanannya sambil sesekali mampir ke bibir untuk dihisap. Asap yang timbul mengelilingi seputaran kepalanya.
Udara sejuk mengaliri tubuhku yang dibalut sweater kuning tebal. Aroma hujan masih tersisa, masih sama seperti aroma hujan yang tercium ketika aku bertemu dengannya di sebuah tempat makan, sore itu.
“Hai…”, sapaku ragu-ragu sambil memberanikan diri menepuk pundaknya dari belakang. Kepalanya menoleh ke belakang, ke arahku, menawarkan mata yang pernah sangat lekat menemani hari-hariku.
“Hai, sini duduk.” katanya sambil menarik sebuah kursi untukku. Dia meletakkan rokok yang sudah hamper habis dihisapnya ke dalam asbak di atas meja di depan kami.
“Aku pesenin kopi hitam,ya. Kamu masih suka kopi hitam, kan/” tanyanya melanjutkan. Aku hanya mengangguk.
Hening.
Sepuluh menit berlalu dalam dian sampai ketika akhirnya seorang pelayan dating meletakkan dua cangkir kopi hitam di atas meja.
“Apa kabar?” tanyanya memecah diam.
“Aku tau semua orang akan menanyakan hal yang sama seperti yang baru kamu ucapkan ketika baru bertemu setelah berpisah lama. Tapi aku yakin kamu punya pertanyaan lain yang lebih bermakna selain sekedar “apa kabar”.” jawabku panjang lebar sambil meletakkan cangkir kopi yang baru aku minum di atas meja.
Dia tersenyum, menyeruput kopinya dan menyandarkan punggungnya di kursi.
“Kamu tetap sama, nggak berubah.” lanjutnya menimpali. Akumenundukkan kepala, menatap jari-jari tanganku dan akhirnya berhenti di jari manis yang dilingkari cincin berwarna putih. Aku memang tetap sama seperti dulu, tak pernah berubah kecuali aku yang memang sudah mengikrarkan janji di depan penghulu.
***
Kopi hitam di depanku masih tersisa separuh, mendingin tertiup angina sore setelah hujan. Kami kembali terdiam, seperti pertemuan yang sudah-sudah. Aku merasakan tatap matanya menusuk-nusuk ulu hati, sampai ke sumsum tulang belakangku. Melunturkan rindu yang sudah membeku bersama waktu-waktu yang aku jalani selama pernikahanku.
“Aku bahagia dengan pernikahanku dan aku sedang hamil tiga bulan sekarang. Dan akan melahirkan anak yang pasti akan meramaikan rumah kami.” Ceritaku mencoba membuka kekakuan.
“Oh ya/ Selamat ya, istriku baru saja melahirkan empat bulan yang lalu,” Suaranya melemah datar. “ aku tau kamu pasti sangat bahagia.” Lanjutnya.
“Ya, aku bahagia. Tapi suamiku selalu bilang bahwa masih ada kamu di mataku. Dia selalu menangkap senyummu di mataku.” Aku menundukkan kepala menghindari mata yang tatapnya pasti akan kembali menusuk hatiku.
“Aku selalu bingung, kenapa kita tidak bisa bersama?” tanyanya memekakkan gendang telingaku, menyampaikan lewat urat syaraf dan mengarahkannya ke kelenjar air mata, membasahi retina mataku, walaupun dia bertanya begitu pelan.
Aku merasakan lidahku kaku dan tak berfungsi. Sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa menjawab pertanyaan itu, karena aku pun sudah sangat sering menanyakannya pada diriku sendiri, tapi jawabannya nihil.
***
Aku masih sangat ingat pertemuan pertamakudengannya di suatu sore, hujan baru saja reda ketika itu. Sama seperti saat ini. Bahkan aku harus berjingkat saaat berjalan untuk menghindari genangan air.
Senyum itu masih sama. Hangat seperti matahari jingga yang beranjak tenggelam sore itu. Senyum itu adalah senyum yang mengembang ketika pesta pernikahanku digelar tiga tahun lalu. Aku sendiri malah tidak mampu datang ke pernikahannya meskipun aku sudah lebih dulu menikah. Aku menyadari, aku sangat pengecut. Aku bahkan tidak mampu menolak kehadirannya yang selalu datang setelah hujan, seperti pelangi. Yah, dia adalah bayangan yang tetap hadir meski saat bibirku sedang bertemu dengan bibir suamiku.
“ Aku ke toilet sebentar,ya.” Pamitku sambil bersiap berlari meninggalkannya.Tangan kokohnya sigap menggapai tanganku.
“Kenapa kamu selalu berlari meninggalkanku/” tanyanya pelan. Matanya sendu.
Aku menarik nafas panjang.
“Karena aku terlalu pelan setiap berjalan, apalagi untuk mengimbangi jalanmu. Tapi nyatanya, saat berlari, aku terlalu cepat untukmu.” Jawabku smabil berlalu. Tangannya terlepas pelan, seakan tetap ingin menahanku.
***
“Sore…
Aku tak pernah berharap akan ada hari ini. Karena terlalu berat ketika pada akhirnya matahri esok akan muncul dan aku mendapati diriku terbangun dengan ketergesaan menyingkirkan rinduku padamu.
Kita sudah terlalu lama diam memaku membuat rindu menjadi beku. Mungkin kisah ini akan berakhir segera, entah esok, lusa atau malah tak akan pernah bisa diakhiri. Yang aku tau, aku pernah ingin pulang ke hatimu, namun ternyata hatimu bukan rumahku.
Kamu, pulanglah bersama kisah yang entah kenapa harus digariskan untuk kita.
Aku ingin kita bersyukur bahwa kita tidak harus bersama. Karena kita tahu, ketika bersama, jiwa kita akan tetap merasa terasing dan sendirian.
Maka, lagi, pulanglah bersama kisah ini. Pulanglah bersama hujan yang telah reda. Ingatlah Tuhan kita dan janji-janji kita pada-Nya.”
Aku lipat kertas puith yang aku minta dari seorang pelayan sebelum aku masuk ke toilet dan memenuhi kertas itu dengan tulisan yang sudah sejak lama ingin aku katakana, tapi tak pernah bisa. Lalu aku buka dompetku, aku ambil sebuah foto yang sudah tersimpan di situ sejak bertahun-tahun yang lalu.
Aku keluar dari toilet dan kembali menemuinya. Alku pegang tangan kanannya dan aku letakkan kertas itu di atasnya. Dengan lemas, aku beranikan diri menatap mata itu. Mata luar biasa dalam dan tak pernah sanggup aku salami.
“Sore yang Indah. Terimakasih untuk sore yang Indah setelah hujan dari kamu.” Aku paksakan untuk memberanikan senyum terbaik yang aku miliki. Denagn gontai, aku melangkah meninggalkannya terpaku di atas temapt duduk..
Hening.
***
Hujan kembali turun ketika matahari bersembunyi di kamarnya. Jendela aku biarkan terbuka agar angina dapat masuk dengan leluasa untuk menemaniku yang hanya berteman secangkir kopi hitam. Minuman yang sebenarnya sangat tak baik untuk janin di kandunganku. Tapi ini minuman yang selalu berhasil mengingatkanku tentangnya.
Kuraba perutku. Suamiku telah menanamkan benih di dalamnya, dan aku harus menjaganya.
Tiba-tiba ponselku bergetar, tertera namanya di kotak masuk pesan.
“Satu yang akan aku sedihkan setiap sore setelah hujan, adalah tak akan ada lagi senyummu dari seberang jalan.”
Hening.
***
Setiap sore setelah hujan, masih bisa aku lihat senyummu di seberang jalan, dengan mata yang menatap dalam, mata yang bayangannya tak akan pernah hilang.
Setiap sore setelah hujan, akan aku bawa baying matamu hingga kehidupan selanjutnya.
SELESAI
No comments:
Post a Comment