Pada awalnya, sebuah harapan pernah bergantung pada pundak seseorang bernama Djohar Arifin Husein. Saya sebenarnya kurang familiar dengar nama ini. Tapi menurut info, Bapak yang satu ini adalah mantan pemain sepakbola, sehingga bangsa Indonesia seperti melepas beban berat setelah sekian lama berteriak lantang menyebut dua kata, “Nurdin Turun”.
Nurdin Halid adalah momok bagi kami, atau bagi saya mungkin lebih tepatnya. Delapan tahun memangku jabatan sebagai ketua umum PSSI tanpa prestasi berarti. Bahkan beliau pernah memimpin PSSI dari dalam bui.
Dapat dikatakan, Nurdin Halid sama sekali tidak berhasil alias GAGAL.
Kemudian muncullah berbagai kongres yang saya tidak tau namanya. Dan terpilihlah seorang Djohar Arifin Husein sebagai pengganti Nurdin Halid. Harapan baru terpancar dari ketua umum baru. Semangat kembali bangkit. Sampai ketika pemecatan seorang pelatih yang disebut-sebut sebagai pelatih sisa era Nurdin Halid, Alfred Riedl.
Masyarakat pecinta sepakbola Indonesia kembali tercengang ketika tiba-tiba digulirkan sebuah kompetisi bertajuk Liga Primer Indonesia. Namun bukan masalah ini yangt membuat public tercengang, tapi keputusan di’haram’kannya Liga Super Indonesia. Alasannya –menurut yang saya tau- adalah karena Liga Super Indonesia adalah bentukan Nirwan Bakrie yang notabene adalah salah satu dari pengurus lama.
Dan yang lebih membuat orang awam pun akan tercengang adalah semua pemain yang bermain di klub yang bernaung di bawah LSI dilarang bermain di Tim Nasional. Dengan alas an pembentukan bibit baru, nama-nama langganan Timnas seperti Bambang Pamungkas, Firman Utina, dan lain-lain, dicoret dari skuad Garuda.
Memang, untuk alas an pembentukan usia muda, nama-nama tersebut di atas tak bisa dikatakan muda lagi. Tapi tidak cukup mudakah Okto Maniani, Patrich Wanggai, Titus Bonai, Yongki Aribowo, Andritany dan yang lain? Siapa yang meragukan kemampuan mereka?
Bakat alam yang mereka miliki adalah bibit-bibit unggul yang kelak bisa mengambil alih tongkat estafet yang pernah dibawa oleh Bambang Pamungkas, dll. Mungkin pemain-pemain yang kini berada dalam skuad Timnas kelak akan menjadi duta-duta bangsa, namun mereka tidak bisa begitu saja diberi tongkat tanpa ada pembimbing dari generasi yang lebih senior.
Ada Andik Vermansyah.
Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada Andik Vermansyah. Secepat apapun Andik berlari, seterampil apapun dia bermain, tak ada gunanya bila dia harus melakukannya sendiri.
Lihat betapa tangguh Timnas U-23 kita di Sea Games. Dewi Fortuna saja yang kala itu pergi begitu saja meninggalkan kita saat adu penalty. Lihatlah Egi Melgiansyah yang tetap berjuang memimpin tim walau dengan kaki terpincang-pincang.
Apakah kita masih ingat perjuangan pahlawan-pahlawan lapangan hijau di Piala Asia 2007? Mereka adalah orang-orang yang dilarang bermain di Timnas saat ini.
Bahkan sempat ada isu yang beredar bahwa pemain Timnas lama adalah mafia-mafia sepakbola dari rezim Nurdin Halid. Dan yang menyatakan hal tersebut adalah Bapak Djohar Arifin Husein. Di luar bahwa benar atau tidaknya isu tersebut, seharusnya kita semua mengingat perjuangan M.Nasuha di piala AFF. Dengan kepala berdarah dan diperban, dia tetap memaksakan diri untuk bermain. Dia menumpahkan darahnya untuk Indonesia, untuk bangsanya.
Dengan mengedepankan ego masing-masing, akhirnya Timnas Indonesia, tim sepakbola yang mampu menyatukan Jakmania dan Bobotoh, Bonek dan Aremania, dikalahkan sepuluh gol tanpa balas oleh Brunei di laga pamungkas PPD zona Asia.
Atas nama politik, Timnas U-21 Indonesia dikalahkan 2-0 oleh Brunei Darussalam di HBT 2012. BRUNEI DARUSSALAM mengalahkan Indonesia, Bung
Dan dengan dua kekalahan tersebut, PSSI masih saja berdalih melontarkan bermacam alas an. “Publik Indonesia ingin sesuatu yang instan”. Begitulah kalimat yang ditulis oleh salah seorang juru bicara PSSI.
Dengan mengirimkan pemain-pemain minim pengalaman ke kualifikasi PPD, bukanlah jelas siapa yang ingin sesuatu yang instant?
Publik tidak ingin sesuatu yang instant. Didiklah dahulu anak-anak muda dari segala penjuru ibu pertiwi, persiapkan mereka dengan baik. Sementara itu, sembari menunggu bibit-bibit muda itu tumbuh menjadi buah segar, kita masih punya pemain-pemain yang tenaga, keringat, bahkan darahnya rela diberikan untuk Indonesia. Bila mereka sudah benar-benar “layu”, sudah kehilangan kecepatan berlari, sudah kehilangan ketajaman tendangan, kita punya bibit –bibit baru yang telah dididik dan dipersiapkan tersebut.
Ini sepakbola, dan sepakbola Indonesia bukan milik satu orang atau satu kubu, tapi milik bangsa Indonesia.
Apakah pak Djohar Arifin yang terhormat beserta anak buahnya tidak tertohok pada pengunduran diri Rahmad Darmawan? Seorang pelatih putra asli Indonesia yang digadang-gadang akan menjadi pelatih yang mampu meningkatkan martabat Indonesia.
Apakah mereka tidak melihat mata berkaca-kaca dan suara tertahan seorang Aji Santoso saat baru tiba dari Bahrain?
Tidakkah mereka melihat wajah datar Widodo C.Putro ketika harus menerima kenyataan bahwa anak asuhannya dikalahkan oleh Brunei 2-0?
Tolonglah Bapak-Bapak di kursi PSSI sana, ingatlah senyum merekah Oktovianus Maniani, ingatlah tarian selebrasi Titus Bonai, ingatlah tangisan Kurnia Meiga saat adu penalty di final Sea Games 2011, ingatlah ekspresi kegembiraan Firman Utina, ingatlah Bustomi, ingatlah Arif Suyono, Hamka, Fery Rotinsulu, Ramdani, Hasim Kipuw, ingatlah kalau kalian tidak terkena amnesia seperti para tersangka korupsi itu. Ingatlah bila kalian memang masih punya HATI.
PSSI adalah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Seluruh Indonesia, Pak. Bukan Persatuan Sepakbola Liga Primer Indonesia. Dan Bapak-Bapak sekalian bukanlah MUI yang bisa dengan mudah membuat fatwa haram.
Maka, saya, seorang pecinta sepakbola Indonesia berdoa, semoga segera dihilangkan segala egoisme, kepentingan politik serta gengsi yang ada. Demi sepakbola Indonesia, demi bangsa dan masa putra-putra Garuda…
Jakarta, 12 Maret 2012
Lilis Wiyatmo
No comments:
Post a Comment