Sepakbola, tidak bisa dipungkiri, adalah olahraga terpopuler di dunia. Bahkan di negara sepakbola seperti Inggris, sepakbola adalah lahan bisnis menggiurkan yang sangat diminati para pengusaha.
Kepopuleran sepakbola sudah menjadi hal yang umum di Indonesia. Meskipun prestasi timnas Indonesia tidak terlalu bisa dibanggakan dan peringkatnya masih masuk dalam jajaran di atas 100. Begitu pula dengan kualitas klub-klub yang ada di Indonesia, jelas tidak mencerminkan sebuah negara dengan prestasi yang patut dibanggakan.
Keterbelakangan prestasi makin didukung dengan carut-marutnya organisasi induk yang memayungi sepakbola Indonesia. Pertikaian tiada akhir dan perebutan kekuasaan adalah berita membosankan yang menjadi headline media massa setiap harinya.
Tapi sepakbola tetaplah olahraga yang memiliki magnet kuat tersendiri. Hampir semua lapisan masyarakat di seluruh penjuru dunia menyaksikan pertandingan sepakbola yang hampir ditayangkan setiap hari.
Mungkin tulisan ini akan sangat tidak objektif saat dibaca mengingat posisi saya sebagai pecinta bulutangkis. Mungkin saya menulis ini pun didasari dengan ketidakmengertian yang ditambah dengan rasa iri saya pada berita-berita yang ada sangat mengagungkan sepakbola, meskipun prestasinya belum dapat dibanggakan.
Saya suka sepakbola. Selain bulutangkis, sepakbola adalah olahraga yang dikenalkan dalam keluarga saya sejak dulu. Kakak laki-laki saya, juga kakak ipar saya, aktif bermain sepakbola. Bapak saya adalah salah satu orang yang hampir tidak pernah absen menjadi panitia saat ada turnamen sepakbola di daerah saya.
Nama-nama seperti Bima Sakti, Sugiantoro, dkk adalah nama-nama yang tidak asing di rumah saya. Bahkan di kamar saya, terdapat poster Ahn Jung Hwan. Saya menyukai Ahn Jung Hwan jauh sebelum K-Pop ramai di Indonesia.
Yang lalu membuat saya iri adalah media yang sangat rajin mem-blow up berita tentang sepakbola. Semua orang pasti masih ingat saat gelaran piala AFF 2010, kejayaan timnas Indonesia lolos dari fase grup menjadikan headline koran dan televisi penuh tentang berita tersebut. Para punggawa timnas diangkat ke atas langit seakan Indonesia sudah menjadi juara dari turnamen teesebut. Euphoria tanpa henti membuat semua orang seakan lupa bahwa lolos fase grup bukanlah akhir dari perjuangan, bahkan itu barulah langkah awal yang seharusnya menjadi titik tolak untuk menapaki pertandingan-pertandingan selanjutnya, yang tentunya lebih berat.
Masih hangat juga di ingatan saat Sea Games 2011. Hampir sama seperti yang terjadi pada timnas piala AFF, timnas U-23 asuhan Rahmad Darmawan bermain gemilang di fase grup. Media, baik cetak maupun elektronik ramai menjadikan berita tersebut sebagai topik utama.
Pada kenyataannya, kejadian yang sama persis terjadi. Partai final, baik AFF maupun Sea Games, menjadi anti-klimaks bagi tim Indonesia. Keduanya sama-sama harus kalah saat adu penalti dengan Malaysia. Saya menangis sambil memeluk bendera merah putih di pojokan kamar saat tim AFF kalah adu penalti. Dan hal itu terjadi lagi saat Kurnia Meiga gagal membendung tendangan pemain Malaysia saat adu penalti.
Media tetap menjadikan berita tersebut sebagai headline. Tidak ada berita nyinyir sedikitpun. Malahan hampir di semua berita mengatakan bahwa Indonesia kalah terhormat.
Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan berita saat atlet Indonesia tidak berhasil mempertahankan tradisi emas bulutangkis, bahkan tidak mampu membawa satu medali pun dari cabang ini. Umpatan, cacian, berita nyinyir dan segala macam komentar buruk tertuju pada atlet bulutangkis Indonesia waktu itu. Apalagi saat terjadi insiden didiskualifikasinya 4 pasangan ganda putri yang salah satunya adalah pasangan Indonesia.
Hal tersebut juga terjadi saat tim Thomas-Uber Indonesia hanya mampu mencapai perempat final.
Komentar miring berseliweran di linimasa twitter. Saya tidak merasa emosi saat komentar tersebut datang dari orang yang mengerti bulutangkis. Tapi ketika tiba-tiba banyak orang-orang hobi kultwit yang padahal sumbernya mereka dapat dari google, bercuap-cuap seakan-akan mereka sangat mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada bulutangkis Indonesia.
Saya sempat mem-block beberapa akun di twitter karena mereka berkomentar sok tau dan kebanyakan ditujukan kepada Taufik Hidayat dengan mengatakan bahwa TH hanya bisa membuat sensasi tapi nihil prestasi. Bitch, please!!!
2012 adalah olimpiade kelima bagi TH. Dan pada olimpiade-nya yang kedua, TH berhasil memberikan emas bagi Indonesia. Kalian kemana? Kurang bahan di internet? Lagi pula Taufik Hidayat adalah pemain profesional yang bermain menggunakan biaya sendiri, tidak bernaung di bawah PBSI. It means dia tidak menggunakan uang kalian saat kalah.
Harus diakui, London adalah olimpiade terburuk bagi Indonesia sejak bulutangkis masuk olimpiade di tahun 1992. Sejak itu, Indonesia tidak pernah absen membawa pulang emas. Tapi haruskah media memojokkan salah satu cabang olahraga yang paling banyak memberikan prestasi bagi negeri ini?
Media lupa, saat mereka mengagung-agungkan sepakbola pada event Sea Games, bulutangkis adalah cabang olahraga pertama yang menyumbangkan emas lewat beregu putra dengan mengalahkan Malaysia 3-1.
Dan ketika publik ramai menyaksikan semifinal sepakbola antara Indonesia vs Thailand, saya menjadi saksi Indonesia Raya berkumandang 4 kali di Istora Senayan. Indonesia hampir saja menyapu bersih emas andai saja Firdasari tidak kalah rubber game dari Ratchanok Intanon.
Bulutangkis tidak butuh diterbangkan ke langit. Saya kira media hanya cukup dengan tidak usah memberitakan apabila hanya sanggup membuat berita negatif. Juga bagi masyarakat Indonesia yang tentunya cerdas, tidak usah terlalu banyak komentar kalau atlet yang dikenal hanya TH, yang bahkan sudah akan pensiun tahun depan. Kebanyakan orang Indonesia hanya tahu TH dan langsung menyimpulkan bahwa bulutangkis Indonesia sudah mati. Padahal ada nama-nama lain yang bahkan berhasil merebut gelar All England dan Juara Dunia Junior. Tapu siapa yang perduli dengan mereka setinggi apapun prestasinya.
Doa saya semoga olahraga Indonesia, tidak hanya sepakbola dan bulutangkis, maju dan berprestasi. Dan semoga masyarakat dan media Indonesia segera dijauhkan dari sifat sok tau dan banyak komentar tanpa berpikir isi komentarnya.
Lilis Wiyatmo
25 November 2012