Sunday, November 25, 2012

Media Sok Tau

     Sepakbola, tidak bisa dipungkiri, adalah olahraga terpopuler di dunia. Bahkan di negara sepakbola seperti Inggris, sepakbola adalah lahan bisnis menggiurkan yang sangat diminati para pengusaha.

     Kepopuleran sepakbola sudah menjadi hal yang umum di Indonesia. Meskipun prestasi timnas Indonesia tidak terlalu bisa dibanggakan dan peringkatnya masih masuk dalam jajaran di atas 100. Begitu pula dengan kualitas klub-klub yang ada di Indonesia, jelas tidak mencerminkan sebuah negara dengan prestasi yang patut dibanggakan.

     Keterbelakangan prestasi makin didukung dengan carut-marutnya organisasi induk yang memayungi sepakbola Indonesia. Pertikaian tiada akhir dan perebutan kekuasaan adalah berita membosankan yang menjadi headline media massa setiap harinya.

     Tapi sepakbola tetaplah olahraga yang memiliki magnet kuat tersendiri. Hampir semua lapisan masyarakat di seluruh penjuru dunia menyaksikan pertandingan sepakbola yang hampir ditayangkan setiap hari.

    

     Mungkin tulisan ini akan sangat tidak objektif saat dibaca mengingat posisi saya sebagai pecinta bulutangkis. Mungkin saya menulis ini pun didasari dengan ketidakmengertian yang ditambah dengan rasa iri saya pada berita-berita yang ada sangat mengagungkan sepakbola, meskipun prestasinya belum dapat dibanggakan.

     Saya suka sepakbola. Selain bulutangkis, sepakbola adalah olahraga yang dikenalkan dalam keluarga saya sejak dulu. Kakak laki-laki saya, juga kakak ipar saya, aktif bermain sepakbola. Bapak saya adalah salah satu orang yang hampir tidak pernah absen menjadi panitia saat ada turnamen sepakbola di daerah saya.

     Nama-nama seperti Bima Sakti, Sugiantoro, dkk adalah nama-nama yang tidak asing di rumah saya. Bahkan di kamar saya, terdapat poster Ahn Jung Hwan. Saya menyukai Ahn Jung Hwan jauh sebelum K-Pop ramai di Indonesia.

     Yang lalu membuat saya iri adalah media yang sangat rajin mem-blow up berita tentang sepakbola. Semua orang pasti masih ingat saat gelaran piala AFF 2010, kejayaan timnas Indonesia lolos dari fase grup menjadikan headline koran dan televisi penuh tentang berita tersebut. Para punggawa timnas diangkat ke atas langit seakan Indonesia sudah menjadi juara dari turnamen teesebut. Euphoria tanpa henti membuat semua orang seakan lupa bahwa lolos fase grup bukanlah akhir dari perjuangan, bahkan itu barulah langkah awal yang seharusnya menjadi titik tolak untuk menapaki pertandingan-pertandingan selanjutnya, yang tentunya lebih berat.

     Masih hangat juga di ingatan saat Sea Games 2011. Hampir sama seperti yang terjadi pada timnas piala AFF, timnas U-23 asuhan Rahmad Darmawan bermain gemilang di fase grup. Media, baik cetak maupun elektronik ramai menjadikan berita tersebut sebagai topik utama.

     Pada kenyataannya, kejadian yang sama persis terjadi. Partai final, baik AFF maupun Sea Games, menjadi anti-klimaks bagi tim Indonesia. Keduanya sama-sama harus kalah saat adu penalti dengan Malaysia. Saya menangis sambil memeluk bendera merah putih di pojokan kamar saat tim AFF kalah adu penalti. Dan hal itu terjadi lagi saat Kurnia Meiga gagal membendung tendangan pemain Malaysia saat adu penalti.

     Media tetap menjadikan berita tersebut sebagai headline. Tidak ada berita nyinyir sedikitpun. Malahan hampir di semua berita mengatakan bahwa Indonesia kalah terhormat.

     Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan berita saat atlet Indonesia tidak berhasil mempertahankan tradisi emas bulutangkis, bahkan tidak mampu membawa satu medali pun dari cabang ini. Umpatan, cacian, berita nyinyir dan segala macam komentar buruk tertuju pada atlet bulutangkis Indonesia waktu itu. Apalagi saat terjadi insiden didiskualifikasinya 4 pasangan ganda putri yang salah satunya adalah pasangan Indonesia.

     Hal tersebut juga terjadi saat tim Thomas-Uber Indonesia hanya mampu mencapai perempat final.

     Komentar miring berseliweran di linimasa twitter. Saya tidak merasa emosi saat komentar tersebut datang dari orang yang mengerti bulutangkis. Tapi ketika tiba-tiba banyak orang-orang hobi kultwit yang padahal sumbernya mereka dapat dari google, bercuap-cuap seakan-akan mereka sangat mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada bulutangkis Indonesia.

     Saya sempat mem-block beberapa akun di twitter karena mereka berkomentar sok tau dan kebanyakan ditujukan kepada Taufik Hidayat dengan mengatakan bahwa TH hanya bisa membuat sensasi tapi nihil prestasi. Bitch, please!!!

     2012 adalah olimpiade kelima bagi TH. Dan pada olimpiade-nya yang kedua, TH berhasil memberikan emas bagi Indonesia. Kalian kemana? Kurang bahan di internet? Lagi pula Taufik Hidayat adalah pemain profesional yang bermain menggunakan biaya sendiri, tidak bernaung di bawah PBSI. It means dia tidak menggunakan uang kalian saat kalah.

     Harus diakui, London adalah olimpiade terburuk bagi Indonesia sejak bulutangkis masuk olimpiade di tahun 1992. Sejak itu, Indonesia tidak pernah absen membawa pulang emas. Tapi haruskah media memojokkan salah satu cabang olahraga yang paling banyak memberikan prestasi bagi negeri ini?

     Media lupa, saat mereka mengagung-agungkan sepakbola pada event Sea Games, bulutangkis adalah cabang olahraga pertama yang menyumbangkan emas lewat beregu putra dengan mengalahkan Malaysia 3-1.

     Dan ketika publik ramai menyaksikan semifinal sepakbola antara Indonesia vs Thailand, saya menjadi saksi Indonesia Raya berkumandang 4 kali di Istora Senayan. Indonesia hampir saja menyapu bersih emas andai saja Firdasari tidak kalah rubber game dari Ratchanok Intanon.

     Bulutangkis tidak butuh diterbangkan ke langit. Saya kira media hanya cukup dengan tidak usah memberitakan apabila hanya sanggup membuat berita negatif. Juga bagi masyarakat Indonesia yang tentunya cerdas, tidak usah terlalu banyak komentar kalau atlet yang dikenal hanya TH, yang bahkan sudah akan pensiun tahun depan. Kebanyakan orang Indonesia hanya tahu TH dan langsung menyimpulkan bahwa bulutangkis Indonesia sudah mati. Padahal ada nama-nama lain yang bahkan berhasil merebut gelar All England dan Juara Dunia Junior. Tapu siapa yang perduli dengan mereka setinggi apapun prestasinya.

Doa saya semoga olahraga Indonesia, tidak hanya sepakbola dan bulutangkis, maju dan berprestasi. Dan semoga masyarakat dan media Indonesia segera dijauhkan dari sifat sok tau dan banyak komentar tanpa berpikir isi komentarnya.

Lilis Wiyatmo
25 November 2012



Saturday, November 24, 2012

Pulang Ke Kotamu (4)

Cont~

     Pak Penyo menginstruksikan pada kami untuk ikut pak Arif lagi. Di depan, kami bertemu mas Ari dan mas Dhedot, pamit, salim dan pulang. Seperti biasa, mas Dhedot selalu bersalaman dengan mantap. Kenapa tidak foto dengan mas Dhedot dan mas Ari? Karena kami sudah berfoto dengan mas Ampuh. It's a wrap!!!

     Pak Arif mengantarkan kami sampai depan pagar yang ternyata masih terkunci rapat. Siapakah orang yang pernah memanjat tembok rumah CN yang tinggi banget saat subuh? Saya -_____-
Oke nggak usah dibahas.

     Kami pun akhirnya masuk ke kamar setelah kunci yang ternyata tersembunyi di suatu tempat ditemukan. Dan kami pun tidur dengan seksama dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya . Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta. Okesip.

                     *    *    *

Day 3, Last Day

     Saya terbangun di kolong tempat tidur dengan perasaan campur aduk. Dua hari ini saya tetap bertahan tidur di kolong. Sebagai alien saya akan merasa gagal bila tidur di tempat tidur.

     Saya merasa nggak ikhlas karena itu adalah hari terakhir kami di Jogja. Kami pun packing, mandi dan naik ke lantai dua untuk ngepel. Ah, bukan ngepel sih, tapi melanjutkan sesi foto-foto. Setelah itu kami pergi ke Malioboro (lagi, grrrrrr) untuk mencari oleh-oleh dan makan siang yang digabung dengan sarapan, lalu tiba lagibdi beskem sekitar pukul 12:00. Kami masih sempat tidur-tiduran sampai ketika Hayu dan Mia datang.

     Pukul 13:30, kami keluar kamar setelah membereskan semua barang-barang bawaan. Tidak lupa kami berpamitan pada Bapak penjaga rumah yang menyalami kami dengan ramah. Saya berjalan keluar dengan lemas saat sayup-sayup lagu Ruang Rindu terdengar. Saya langsung ndeprok di lantai. Metrika mingsek-mingsek . Damn!!! Windy kurang ajar sekali berani memutar lagu itu di saat seperti ini :((

     Kami pun berpamitan pada mas Koko yang baik hati dan rajin menolong kami berfoto. Sayangnya kami lupa berfoto dengan berfoto dengan beliau. Pak Penyo datang dengan dedeknya yang pemalu.

     Saya sedih lagi. Kenapa harus ada kosa kata bernama perpisahan? :(((

     Kami berjalan bersama-sama menunggu bis  sedangkan pak Penyo dan dedeknya yang pemalu menunggui di seberang jalan.

     Dan bis pun datang. Kami semua berpelukan. Tidak ada air mata jatuh. Saya mulai tau bahwa perpisahan diciptakan agar ada kata saling merindukan. Kami akan pulang. Tapi kami merasa bahwa kami seperti meninggalkan rumah sendiri.

     Selamat tinggal, Jogja. Kota di mana setiap orang bisa jatuh cinta. Kota tempat segala keramah-tamahan dan persahabatan dituai. Kota yang sederhana tapu bersahaja.

     Satu lagi saya tinggalkan potongan hati dan mimpi di kota ini.

     Terimakasih, Letto. Terimakasih, Pak Penyo. Terimakasih, mbak Peppie, mas Koko, pak Arif, teman-teman pLettonic Jogja dan semua yang ada di acara maiyahan malam itu. Terimakasih, rindu, cinta dan Jogja.

     Saya akan selalu merindukan Jogja dan segala isinya. Saya akan merindukan kamu. Iya kamu. Kamu yang sedang tidak berada di kotamu. Kamu yang saya tunggu setiap pagi di pintu masuk kantor. Kamu yang selalu diam namun diam-diam saya kagumi. Kamu yang setiap hari saya rindukan tanpa kamu menyadari. Kamu, pemilik lengkung senyum serupa.pelangi. Saya sudah pulang ke kotamu, tanpa kamu :')

     Kami pulang ke Jakarta secara terpisah. Saya dan Windy menuju.terminal Pasarminggu, Fitriabke Pulogadung dan Dwi ke Cileungsi. Metrika akan pulang keesokan paginya. Sedangkan Nabil malah sudah pergi ke Desa Brayut untuk menyaksikan Ngayogjazz.

     Hujan mengiringi kepulangan kami menuju Jakarta. Kota dengan segala kesemerawutan di balik kemewahan gedung-gedung tinggi. Kota paling menjengkelkan yang sangat kami cintai. Kota tempat kami hidup dan mengais rejeki.

     Jakarta, be nice please!!!

"walau kini kau t'lah tiada kan kembali

namun kotamu hadirkan senyummu abadi

ijinkanlah aku untuk selalu pulang lagi

bila hati mulai sepi tanpa terobati..."

Lilis Wiyatmo
24 November 2012

Nb: sengaja diselipkan foto Lee Yong Dae dan Shinaro Ikeda, agar kamu lebih bersyukur :D











Pulang Ke Kotamu (3)

Cont~

     Kemudian kami diajak muter-muter Malioboro. Saya cenderung bingung saat berada di Malioboro. Manusia yang entah dari mana asalnya tumplek blek jadi satu. Saya tetap ikut muter-muter karena saya yakin ada saudara saya dari planet Venus atau planet yang lain dalam lautan manusia tersebut. Karena biasanya golongan alien seperti kami akan nyelip-nyelip di antara kumpulan keramaian manusia. Jadi hati-hati, saat Anda berada di antara keramaian manusia, bisa jadi salah satu atau salah duanya adalah alien yang ingin mengambil alih bumi atau ingin mengambil sampel gen manusia untuk diteliti di planetnya. Camkan itu bero en sest *macak @rasarab*.

     Acara muter-muter dilanjutkan dengan foto-foto di trotoar. Saya dan Hayu sempat planking di tengah jalan, juga foto duduk rame-rame di tengah trotoar. Trotoar Jogja itu awesome sekali pemirsa. Kemudian foto-foto pun dilanjutkan. Kalian ada yang berani foto kayang di pinggir jalan Malioboro ga? Nggak? Cah cemen. Saya dong berani (--,).

     Sekitar pukul 11 malam kami kembali ke beskem. Mia dan mbak Rhien langsung pulang ke rumah masing-masing.

     Sesampainya di beskem, kami langsung ke kamar. Mbak Peppie sepertinya melanjutkan pekerjaan di lantai dua. Hayu ikut tidur bersama kami. Saya tidur di kolong karena kepanasan. Kenapa sudah ada ac masih panas? Ya namanya juga makhluk Venus :/

     
                  *    *      *

Day 2

     Pagi hari saya terbangun pukul 04:30. Yang lain masih terlelap, kecuali Dwi yang sepertinya memang tidak pernah tidur. Jangan-jangan dia juga alien :O

     Setelah semua mandi, kami menuju lantai dua. Rumah sepi, hanya ada mas Koko yang sedang....sedang apa ya?

     Sampai di lantai dua, kami siap dengan senjata masing-masing. Dwi dengan kain pelnya dan kami duduk manis di kursi masing-masing sambil nonton tv :). Dwi sibuk ngepel lantai sambil ngubek-ubek kardus. Dia melihat barang yang bisa dipindah-tangankan, seperti poster, kaos, dll dst dsb mensenke.

     Setelah Dwi selesai bersih-bersih, kami bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Agenda utama kami hari itu adalah mencari tiket pulang. Saya, Dwi, Fitria dan Windy pergi ke daerah Gamping untuk mencari tiket. Sedangkan Metrika diantar Hayu ke stasiun Lempuyangan untuk mencari tiket kereta ke Malang, yang dilanjutkan dengan Hayu yang langsung pulang ke kosan.

     Dari Gamping, kami langsung menuju ke Malioboro (lagi). Foto-foto (lagi). Agak siang, mbak Rhien dan Mia datang. Kami pun berkeliling. Fitria dan Dwi-lah yang paling aktif mencari oleh-oleh. Sedangkan saya tetap sibuk mencari alien.

     Siang hari, setelah melewati insiden Metrika dimakan kuda, kami berpencar. Tapi memang kuda-kuda di Jogja genit-genit. Malamnya di Malioboro, pundak saya dicium dengan mesra sampai saya histeris. Maksud saya sih kalau ada rasa sama saya ya ngomong aja baik-baik, ga usah main cium di tempat umum gitu *prekkk*.

     Oke, lanjut prab!!!

     Metrika pergi sendiri menemui temannya. Saya, Fitria, Windy dan Dwi pergi ke beringin kembar Alkid sedangkan mbak Rhien dan Mia kembali ke beskem. Menurut cerita, alkid akan lebih indah saat dikunjungi malam hari. Tapi semua terbantahkan saat saya tiba di sana. Mungkin bila saya pergi ke alkid di malam hari, keindahan-keindahan itu tak akan terlihat dengan jelas. Mata kami dimanjakan dengan pemilik tulang rusuk berwajah segar yang berkeliaran di mana-mana.

     Curiousity kills the cat. Begitu pepatahnya. Dan saya datang ke alkid hanya untuk memenuhi rasa penasaran saya. Begitu pula Fitria yang penasaran dengan sensasi minum wedang ronde di Jogja. Itulah yang kami lakukan selanjutnya, minum wedang ronde di pinggir jalan yang penjualnya adalah seorang nenek bermuka jutek dan sinis tapi masih tetap bicara menggunakan bahasa Jawa halus :)

     Ada dua hal memalukan terjadi pada kami saat di alkid. Semua terjadi karena mata kami yang susah dikontrol saat bertemu kaum Adam. Tapi sebaiknya tidak usah diceritakan daripada reputasi kami gadis manis dan lugu hancur. Lagipula kata Jason Mraz di lagu You & I Both,"All things are gonna happen naturally". Mata jelalatan juga natural, bukan? Wahihihi...

     Kami kembali ke beskem sekitar pukul 5 sore setelah dijemput taksi yang sebelumnya sudah dipesankan oleh mbak Rhien. Thankie again mbak Rhien.

     Sesampainya di beskem, sudah sudah ada Nabil dan dua temannya. Kami semua ngobrol di lantai dua. Kami semua berkumpul kecuali Metrika yang nasib dan keberadaannya masih menjadi misteri. Pemisahh, mungkinkah Metrika dimakan kuda lagi? *zoom in zoom out*

     Pukul 6 sore saya dan Fitria turun ke kamar untuk mandi. Dwi sepertinya sudah mandi terlebih dahulu. Sedangkan Windy yang beralibi takut masuk angin, jangan dtayangkan kapan mandinya. Mungkin dia tayammum.

     Fitria mandi lebih dulu, sedangkan saya menunggu di kamar sambil mengutak-atik handphone sampai ketika Metrika tersenyum tanpa dosa masuk ke dalan kamar. Puja Kerang Ajaib, Memed ga jadi dimakan kudaaaaaa. Saya terharu dan langsung pengen yang-yangan :')

     Setelah mandi dan beberes, kami semua berkumpul lagi di lantai dua. Minus Hayu dan mbak Peppie. Kami ngobrol dan lupa recharging handphone masing-masing. Satu yang sangat saya suka dari tempat adalah karena ada begitu banyak colokan. Setiap melihat colokan, kebahagiaan saya seperti bertemu dengan cowok-cowok Jepang semacam Shintaro Ikeda dan Shoji Sato. Saya cinta colokan seperti saya cinta Shintaro. Awww smash aku, Mas. Smash akuuuhhhh!!!

     Ngomongin Shintaro, saya jadi ingat lagunya penyanyi panutan saya, Jason Mraz *damn, again* yang judulnya Butterfly. Itu adalah lagu tersaru yang sangat saya suka.

"Curl, your upper lip up and let me look around

Ride your tongue along and your bottom lip then bite down"

*mbayangke* Duh...

     Tuhan kenapa kau ciptakan pria-pria seksi seperti Jason Mraz, Shintaro Ikeda dan Lee Yong Dae tentunya? Juga Peter Hoeg Gade? Muhammad Hafiz Hashim? Shoji Sato? Chris Adcock? Chen Long? Tien Minh Nguyen? Juga Ricky Alverino Sidharta?

    Apa jadinya kalau Lee Yong Dae, Kim Sa Rang dan Ko Sung Hyun bikin boyband? Saya pasti nonton paling depan sambil bawa poster "Lee Yong Dae, marry me!!!". Dan curiousity benar-benar akan kills the cat bila saya belum dapat fotonya Lee Yong Dae sama pacarnya yang di kolam renang. Haduhhhh opo ikiiih?

    Pada belum tau Lee Yong Dae ya? Hih, you live in nothing hill, girls. Huh, panas ya kalau ngimongin Lee Yong Dae.

    Oke, out of focus. Sampai mana tadi?

     Setelah isya', kami dibawa oleh sebuah mobil yang dikendarai oleh Bapak Arif ke sebuah tempat tak terlalu jauh dari beskem. Di sana kami berwacana untuk ikut maiyahan atau mocopat syafaat.

     Sebentar, saya kok masih ngos-ngosan ya kepikiran Lee Yong Dae sama Shintaro Ikeda? Hosh hosh hosh...

     Sampai di sana kami tidak langsung masuk ke venue, tapi mampir ke angkringan untuk makan malam. Setelah menghabiskan segelas kopi hitam, kami bermain "sobyong". Tau kan? Sobyong itu kalau di Jakarta disebut ABC 5 Dasar. Kami bermain sobyong tanpa pernah ada ujungnya. Karena saya sendiri jarang bisa menjawab pertanyaannya.

     Oh iya, saat kami datang, di depan angkringan ada seorang pria memakai sweater abu-abu berambut pendek. Kami serempak berteriak memanggil namanya," mas  Ampuuuuuhhhh!!!". Akkkkk kemanakah rambut keriting mas Ampuh yang ampuh itu?

     Kalian kangen nggak sama mas Ampuh? Saya kok kangen banget ya. Sampai rasanya tiada terkira. Kalian kenal mas Ampuh kan? Harus kenal pokoknya :)))

     Mbak Peppie datang, kemudian Nabil pun tiba. Kam memesan makan malam yang kesemuanya ditraktir oleh mbak Peppie, sampai kemudian mas Dhedot, drummer Letto, dan mengobrol bersama kami. Mas Dhedot udah gede ya ternyata sekarang? :D

     Kemudian mas Ari juga datang. Setelah haha hihi dan menghabiskan makanan, kami semua masuk ke tempat maiyahan. Menyesal karena ternyata kami hanya kebagian satu lagu dari grup keroncong Ada Kalanya.

     Sekitar pukul 23:00, CN naik ke panggung bersama rombongan Kiai Kanjeng. Ada mas Donny aduuuhhhh.... Ada juga mbak Via dan Haya yang menyanyikan lagu Bangbang Wetan, Someone Like You dan If I ain't got you. Haya cantik dan suaranya bagus ternyata. Fyi, Haya itu adeknya mas Sabrang.

     Samar-samar terlihat mas Sabrang datang kemudian nonton bola dan dilanjutkan dengan tidur. Saya tidak terlalu memperhatikan mas Sabrang di ruangan samping karena di depan saya ada mas "Jaket Coklat" yang tentu sangat menarik perhatian saya. Ah, dasar mata keranjang kamu Sri!!!

     Semalaman saya hanya fokus pada mas Jaket Coklat. Jadi jangan pernah tanyakan tentang hasil dari maiyahan malam itu. Toh biasanya juga ada reviewnya kan? Wahihihi...

     Sekitar pukul 3 dini hari, acara selesai. Kami pamit pulang pada mbak Peppie, kemudian berjalan keluar. Di depan lagi-lagi kami histeris saat bertemu mas Ampuh. Lalu kami foto dengan mas Ampuh sambil cium tangan dan pamit pulang.

Cont~
    









Friday, November 23, 2012

Pulang Ke Kotamu (2)

Cont~

     Jalanan yang dilewati lebih banyak terlihat gelap. Kemanakah matahari yang biasa menyinari? Dengan kualitas mata yang kurang memadai, saya tidak terlalu memperhatikan jalanan. Sampai akhirnya saya terbangun setelah tidur bangun tidur bangun tidur bangun berkali-kali.

     Bis memasuki wilayah yang mirip seperti jalanan menuju rumah saya di Lampung, sepi dan banyak pohon di kanan kiri jalan.Musik di mp3 handphone saya memutar lagu Live High milik solois paling seksi di galaksi bima sakti, Jason Mraz.

"Live high

  Live mighty

  Live righteously

  And sing it out

  And just take it easy

  And celebrate the malleable    
  reality

  You see nothing is ever as it
  seems

  Yeah, this life is but the dream..."

     Reality is soooo malleable. Kalau tidak, mana mungkin kami yang penuh kenekatan ini bisa terbangun di sebuah tempat yang jaraknya tidak jauh dari tempat yang kami idamkan sejak lama, Jogjakarta.

                 *    *    *

     Day 1

     Aroma udara segar lamat-lamat tercium dari dalam bis non-ac kami. Hati saya sudah tidak sabar untuk mencium udara Jogja yang pasti terasa berbeda. Bis sempat berhenti sekitar 15 menit karena "sang pengendali kuda" pergi ke klinik di mana anak perempuannya sedang melahirkan secara operasi. Oh Glory God, perjalanan kami tertunda karena harus menunggu orang bayen. Gimana kalau bayinya kembar? :O

     Tapi terimakasih Neptunus, setelah menunggu, Bapak sopir yanh sepanjang jalan tidak berhenti menelpon pun kembali. Perjalanan pun dilanjutkan. Kami berempat adalah penumpang paling banyak suara. Mulai dari perdebatan akan turun di mana, harus mandi di mana, dan lain-lain.

     Pukul 04:30 saya kabarkan pada mbak Rhienprana bahwa kami sudah sampai di daerah Kutoarjo. Meskipun masih pukul 04:30, suasana sudah mulai terang. Kabut putih berarak di atas daun-daun yang sepertinya basah oleh embun. Saya mencari-cari Venus, rumah saya, yang biasanya muncul sebelum matahari naik. So that's why Venus biasa disebut morning star. Tapi Venus ternyata lebih cepat tidur. Nihil.

     Tiba-tiba sebuah telur mata sapi raksasa berwarna jingga dengan bentuk sempurna muncul di depan kami. Pusat tata surya muncul dengan gagah saat waktu masih menunjuk angka 5. Dia muncul dari balik dedaunan dan pepohonan hijau. Mata kami tidak berhenti menatap ke arah telur mata sapi raksasa buatan Chef paling hebat sejagad raya yang jarang kami lihat di Jakarta. Mungkin di Jakarta sering terlihat matahari dengan bentuk serupa. Tapi siapa juga yang mau menatap matahari Jakarta yang kekuatannya tembus ke dalam rumah itu.

     Alam selalu mengajari kita banyak hal. Salah satunya adalah bersyukur. Bersyukur karena hanya dengan melihat matahari terbit, kita bisa merasa begitu dekat rumah. God is good :)

     Tidak berapa lama, bis kami memasuki daerah Gamping. Kami turun di situ. Hal pertama yang kami lakukan saat menginjakkan kaki ke tanah adalah berkata,"Jogjaaaa". Setelah itu kami bengong, bingung mau kemana. Kabar terakhir mengatakan bahwa kami tidak bisa langsung ke beskem karena kunci dibawa mbak.Peppie dan beliau baru bisa datang siang atau sore hari. Maka di sinilah kami, di pasar Gamping, celingak-celinguk bingung. Kata mbak Rhien sih dari Gamping ke Kadipiro ataupun Malioboro tinggal jalan ke timur sedikit. Masalahnya, di manakah itu arah timur?

     Sebagai pengikut setia Tong Sam Chong yang biasa melakukan perjalanan ke barat, kami pun menyeberang jalan menengok ke arah yang kami yakini adalah arah timur, padahal tidak terlihat matahari bersinar dari arah tersebut. Tapi nyasar adalah prinsip hidup yang harus dijunjung tinggi. Pulang ke kosan yang sudah 5 tahun lebih saya tinggali saja masih sering nyasar, apalagi di sini. Maka setelah khawatir sesat di jalan, kami pun bertanya pada seorang ibu yang memakai masker untuk menutupi wajahnya yang mengarahkan kami untuk naik bis jalur 15 yang terparkir tidak jauh dari tempat pertama kali kami turun. Jadilah kami menyeberangi jalanan dengan mobil-mobil dan motor yang melaju dengan kecepatan aduhai.

     Singkatnya, kami pun tiba dengan selamat di kawasan Malioboro. Yak, dengan muka kucel dan belum cuci muka, serta peralatan lenong yang kami bawa dari Jakarta, masih masih sempat foto-foto di seberang Benteng Vrederburg (betul ga nulisnya? :)) ), saya pun tidak lupa untuk mengabarkan pada Bapak kalau saya sudah tiba di Jogja dan juga janjian dengan Metrika yang sudah berada di Malioboro bersama Demia yang menjemputnya dari stasiun Lempuyangan. Karena.kesempurnaan hanya milik Allah dan kekurangan adalah milik saya dan Bunda Dorce, saya pun membuat Mia berpikir keras mencari letak kami berada. Saya mengatakan bahwa kami berada di Monumen Sebelas Maret padahal kami berada di Monumen Satu Maret.

     Saat bertemu Mia mengatakan bahwa dia sampai mencari di google map letak Monumen Sebelas Maret dan memang setau saya, belum pernah ada monumen supersemar seperti yang dimaksud. Hahahaaa...

     Setelah bertemu dengan Metrika, perjalanan pun dilanjutkan sedangkan Mia langsung pulang karena belum mandi ;D

     Kami berjalan ke arah seberang,entah itu utara atau selatan. Kami sampai di masjid Gedhe. Bukan untuk beribadah, tapi untuk numpang mandi dan ganti baju. Kami sempat menonton anak-anak.SD bermain kasti. Mereka berbicara menggunakan bahasa Jawa and damn I feel like we are in FTV program :))

     Setelah itu kami melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya sarapan soto dengan kuah anta di sebuah tenda di seberang masjid. Kami berjalan dan sampailah kami di keraton. Halaman keraton ramai dengan wisatawan lokal dan mancanegara yang kebanyakan berwajah asia, mungkin China atau Korea. Sayangnya setelah dicari-cari, tidak terlihat ada Lee Yong Dae di antara mereka. Padahal kalau ada mau saya bawa terus malemnya mau saya kecapin terus.dimakan. Mmmm enak *menurut nganaaaa?*

     Untuk masuk ke dalam area keraton dikenai biaya untuk pembelian tiket dan tidak diperbolehkan untuk membawa kamera. Maka kami yang datang dengan tujuan mulia untuk berfoto pun memutuskan untuk duduk-duduk di halaman keraton sambil.mencari spot-spot cantik untuk berfoto. Walaupun tanpa spot cantik pun saya sebenarnya sudah dilahirkan dengan default setting cantik *hoeeekk*.

     Sekitar dua jam kemudian, mbak Rhien datang dan mengajak.kami pulang ke beskem. Terimakasih Tuhan, akhirnya peralatan lenong kami akan segera turun dari pundak. Satu hal yang saya kagum dari mbak Rhien adalah beliau tetap terlihat anggun meskipun berjalan di tengah panas terik dengan suhu sekitar 30°C sambil membawa helm. Resepnya apa mbak Rhien? :)

     Maka setelah naik bis 15, bis yang membawa kami tadi pagi, sampailah kami di depan sebuah rumah berpagar tinggi berwarna hijau. Saya masuk dengan perasaan bahagia. Sesampainya di sebuah pendopo luas dengan foto-foto berbingkai besar di sana-sini, kami langsung naik ke lantai dua. Di atas kami disambut seorang pria berjenggot tipis *duh, jenggot* dengan senyum merekah. Kalian tau siapa beliau? Dialah Rexy Mainaki *krik* :|

     Beliau adalah Pak Penyo. Rasa penasaran saya selama ini terganti dengan emoticon ":O". Tidak usah diceritakan seperti apa Pak Penyo yang sebenarnya, lebih baik datang langsung ke beskem dan dapatkan kejutan selanjutnya. Yang jelas, pak Penyo orangnya lucu dan ramah, seperti orang Jogja kebanyakan.

     Kami kemudian ditunjukkan untuk menempati sebuah kamar di lantai bawah dengan fasilitas ac, tempat tidur King, dan kaca yang hampir memenuhi satu sisi tembok kamar, dan bila membuka pintu, kita akan melihat pagar tinggi yang ditumbuhi rerumputan hijau dan udara yang sejuk. Jadi kalau kita mau bertanya gampang, tinggal membuka pintu dan bertanya pada rumput yang bergoyang.

     Di dalam kamar terdapat sebuah foto seorang laki-laki berambut keriting dengan seorang wanita dengan senyum manis. Mereka adalah pemilik kamar yang kami tempati. Selain foto, terdapat dua buah penghargaan di dalam bingkai panjang. Jadi, kamar siapakah yang kami tempati? Lahaciaaaaaaaaa :p

     Kami menghabiskan waktu siang hingga sore hari duduk sambil ngobrol di ruang lantai dua sambil menikmati hujan. Oh iya, sore hari ada pelangi lho. Melengkung sempurna seperti senyummu <3

     Sore harinya mbak Peppie datang. Kami pun mandi dan bersiap-siap.

     Malamnya, kami diajak berkeliling. Mia dan mbak Rhien, serta Metrika dan Hayu berangkat motor, sedangkan sisanya termasuk saya naik di mobil mbak Peppie.

     Malam itu kami diajak makan di angkringan KR. Lokasinya di kantor koran Kedaulatan Rakyat. Baru kali ini saya makan di angkringan. Ternyata suasananya homy sekali. Duduk lesehan sambil foto-foto dan mata saya tak henti bergerilya. Siapa tau ada "pelengkap" makan malam saya. If you know what I mean :)

     Makan enak, transportasi gratis, dan ditraktir pula. Maka nikmat Tuhan mana yang kau dustakan? Terimakasih traktirannya mbak Rhien :D

Cont~







Thursday, November 22, 2012

Pulang Ke Kotamu (1)

    Kamis, pukul 09.00 pagi saya bangun karena dering panggilan telpon dari Ibu saya di Lampung. Ibu menanyakan persiapan saya hari itu. Saya katakan bahwa semua sudah siap, dan Ibu pun menutup telpon setelah sebelumnya menyuruh saya sarapan.

    That was the day. D-Day. Hari-H. Hari yang saya juga teman-teman saya tunggu dengan dag dig dug setelah berbulan-bulan berencana. Jogjaaaaaa, woooohoooo here we comeeee.....

     Sebenarnya rencana pergi ke Jogja adalah satu rencana yang terlalu nekat. Memang rencana ini sudah dibicarakan pertengahan tahun yang lalu, jadi seharusnya memang tidak ada kata nekat lagi. Tapi hal klasik yang selalu menjadi kendala adalah masalah dana. Keuangan kami di pertengahan bulan memang selalu berada di titik nadir. Dengan gaji sepuluh koma (setelah tanggal sepuluh sudah koma), memang agak susah bagi kami untuk mengatur uang hore-hore di pertengahan bulan. Apalagi harga tiket kereta saat long weekend biasanya lebih kejam dari Firaun. Belum lagi, sampai dua minggu sebelum waktu keberangkatan, kami belum punya tiket dan belum tau apakah kantor kami libur atau tidak.

     Tapi setelah melalui diskusi yang tak pernah ada ujungnya, kami memutuskan untuk pergi ke Jogja. Dan karena tiket kereta ekonomi dari stasiun Senen sudah ludes dan kami buta dengan stasiun lain, maka diputuskanlah kami akan pergi menggunakan bis malam.

     Lagi-lagi kami bingung harus beli tiket di mana. Tapi sebagai karyawan-karyawan yang bekerja di kantor-kantor yang terlalu sering lupa jam kerja karyawannya, kami pun mengikuti saran Fitria yang menyuruh kami naik bis dari Ciledug dan dia yang akan mengurus tiketnya. WOEEETTT??? CILEDUG???? Adoh biyangeeeett mbokdheeee -______-"

     Rencana awal kami akan pergi berlima; saya, Dwi, Windy, Fitria dan mbak Evi. Tapi nama terakhir sangat disayangkan tidak jadi berangkat karena satu dan lain hal.

     Dan sampailah kami pada hari itu. Hari yang sudah kami tunggu-tunggu. Kami dengan tingkat kenekatan kami yang sudah mencapai titik kulminasi 100%.

     Pukul 11.00, Ibu saya kembali menelpon. Menanyakan apakah saya sudah sarapan atau belum dan dilanjutkan dengan omelan puanjaaaangggg sekali saat saya jawab bahwa saya belum sarapan. Dan Ibu bercerita bahwa Bapak baru saja membeli salak pondoh 7 kilo. Kata Bapak, nanti yang 4 kilo biar dibawa adek ke Jogja. Oh, okesip. Bapak perhatian banget. Saya langsung diam, terharu, mimbik-mimbik, dunia abu-abu, gletser mencair, ada UFO lewat, T-Rex berantem, Homo Wajakensis jadi master chef, Jason Mraz menikahi saya, saya hamil dan saya bingung. Terus caranya ngambil salak 4 kilo di Lampung itu gimanaaaaa? Saya harus pulang ke Lampung, ngambil salak, minta sangu,  terus ke Jakarta lagi, terus berangkat ke Jogja. Selo -_-"

     Setelah telpon ditutup, saya pun mencari sisa roti gandum dan susu UHT produksi PT. Ultrajaya yang saya beli malam hari saat pulang kerja, memakannya sambil mantengin live score bulutangkis China Open Super Series. Pukul 12.00 saya mandi dan siap-siap. 15 menit kemudian saya pun siap untuk berangkat.

     Saya dadah dadah ke foto Edi Subaktiar di tembok kamar saya, lalu pergi ke pinggir jalan untuk menunggu angkot 61 jurusan Pasarminggu-Pondok Labu. Dari situ saya berhenti di Balai Rakyat Pasarminggu. Saya pandangi sebentar gelanggang olahraga di seberang jalan yang sedang dalam proses renovasi. Saya ingat kata-kata mbak Susy Susanti di sebuah kesempatan yang mengatakan bahwa,"Kalau tidak ingin ada tawuran pelajar di Indonesia, buatlah gelanggang olahraga dan suruhlah anak-anak muda untuk berolahraga." Mbak Susy, aku bocahmu ;)))

     Metromini 75 yang saya tunggu pun datang. Hanya ada 3 penumpang di dalamnya, 4 dengan saya. Cuaca panas sekali saat itu, untung saja jalanan lengang. Dan hanya membutuhkan waktu +- 30 menit untuk menempuh jarak Pasarminggu - Blok M.

     Setibanya di Blok M, saya kirim sms ke Dwi dan menanyakan posisinya saat itu. Mobilnya ngetem di Mampang, begitu kata Dwi. Saya pun berjalan ke arah jalur metromini yang mengarah ke Ciledug. Sekitar setengah jam kemudian, Dwi datang dengan ransel hitam dan tas kain jinjing yang katanya berisi cemilan. Thank God, Dwi hari itu tidak memakai rok :))

     Cuaca tetap panas. Saya sempat mengecek suhu udara Jakarta di ponsel saya, 33°C. Meskipun udara panas, gerimis rintik-rintik mulai turun. Kami berdua segera naik ke metromini 69 dan mengambil tempat duduk di kursi belakang. Pukul 13.00 waktu itu. Perintah dari Fitria Suwariyo adalah kami semua harus stand by pukul 15:30 di agen bis yang entah di mana tempatnya itu. 15:30? Oke, I know it will be "molor" when you make an appoinment with Fitria.

     Metromini yang kami tumpangi pun mulai berjalan. Syukurlah jalanan hari itu tidak seperti biasanya, lengang dan lancar. Tapi Ciledug sepertinya adalah nama sebuah planet baru di luar galaksi bima sakti yang jaraknya 93 million miles from the sun, 240 thousand miles from the moon. Adoh'e ngaluk-aluk, hora umum. Dan saya, pun Dwi, tidak hapal jalanan di sana. Perintah dari Fitria yang selanjutnya adalah kami harus berhenti di rumah sakit Sari Asih yang entah di mana tempatnya. Sempat terjadi insiden diturunkan dari bis dan dioper ke bis lain di tengah jalan. Tapi akhirnya kami tiba dengan selamat di depan rumah sakit Sari Asih.

     Waktu masih menunjukkan pukul dua siang. Karena ada satu perintah lagi dari Fitria untuk membeli sesuatu di apotik, maka kami pun melangkah ke dalam rumah sakit. Hal pertama yang kami lakukan adalah mencari toilet. Peralatan lenong kami yang sangat banyak berhasil membuat banyak pasang mata tertuju pada kami berdua. Mungkin mereka pikir kami salah masuk rumah sakit, seharusnya masuk rumah sakit jiwa :/

     Setelah tugas mulia di toilet selesai, kami beristirahat di ruang tunggu yang kebetulan di depannya adalah apotik dengan mbak penjaga yang mukanya juteknya melebihi saya. Dan sesuatu yang akan kami beli pun ternyata tidak ada. Mungkin diumpetin mbaknya. Yaksip.

     Karena waktu keberangkatan masih lama dan dua anggota girlband lain masih belum tampak bayangannya, maka kami berjalan ke depan rumah sakit mencari sesuatu yang bisa dimasukkan ke dalam mulut. Dan akhirnya kami berhenti di depan gerobak ketoprak untuk memasukkan gerobak ke dalam mulut -_____-

     Kami pun makan sambil ngobrol ngutara nyelatan alias ngalor ngidul . Setelah selesai makan kami pun membayar. Karena kalau tidak membayar kami takut digebukin abangnya. Kami masih duduk di sana sambil menunggu Windy yang katanya sudah setengah perjalanan. Sampai akhirnya tukang ketoprak naik metromini dan meninggalkan kami berdua bengong dengan segala pertanyaan. Mau kemana si abang ini? Jangan-jangan kami dijebak? Jangan-jangan kami mau dijadikan tukang ketoprak? Atau jangan-jangan abang ini adalah James Bond yang menayamar? Atau dia agen NASA? :O

     Well, you need some random imaginations to think like this.

     Sekitar pukul 15:30 Windy datang dengan barang bawaan yang lebih We O We lagi. Ransel, tas kecil dan bantal --". Bahkan beberapa malam sebelumnya dia bilang mau bawa selimut. Demi Neptunus yang Agung, selimut? Kenapa tidak sekalian bawa kasur, guling, tenda, lampu petromak, panci, kompor parafin dan marsmellow. Lalu membuat tenda dan api unggun kemudian di kejar singa laut? Oh Spongebob...

     Saat itu menurut kami, Fitria tidak akan mungkin segera datang. Jadi kami bertiga mnyeberang dan dan berhenti di sebuah pusat perbelanjaan bernama Ra*m*ayana (maaf disensor). Windy membeli makan di warungnya pak Donald dan saya serta Dwi menunggu di depan Ra*m*a*yana (maaf sensor lagi).

     Setelah Windy kembali, obrolan ngutara nyelatan pun berlanjut. Sampai akhirnya dua buah bis berlabel "Sumber Alam" datang. Tiket kami belum datang. Kami panik. Cah panik ~

     Sekitar pukul 15:50 Fitria datang membawa kembang berkarang mawar merah dan melati putih darah dan suci *macak Chairil Anwar*. Fitri datang diantar Bapaknya. Pak Suwariyo dengan senyum ramah dari balik kacamatanya. Saking ramahnya, kami hampir saja bersalaman 3 kali.

     Pak Suwariyo mengantar kami sampai ke dalam bis dan mencarikan kursi. Setelah menempati kursi masing-masing, Bapak pun pulang. Kami pun memulai semua dengan gojekan. Gojekan yang kami maksud bukanlah bercanda pada umumnya, tapi eyel-eyelan kenceng-kencengan suara. Tapi ngeyel kalo ga foto pun kurang asik ya sepertinya :D

     Bis pun berangkat. Rasa dag dig dug bercampur rasa antusias diaduk menjadi satu.  Rasanya seperti mau ketemuan sama Edi Subaktiar <3

     Di bis, kami tidak terlalu banyak mengobrol. Hanya sesekali kalimat-kalimat nyolot diakhiri dengan ngeyel terjadi.

     Bis yang kami tumpangi adalah bis non-ac dengan tarif yang lumayan murah yaitu 90.000. Bisnya jelek tapi tempat duduknya nyaman dan tidak membuat lutut ditekuk kesana-kemari. Sehingga perjalanan kami pun terasa nyaman dan lebih banyak dihabiskan dengan tidur. Pengecualiannya adalah Dwi yang tetap terlihat segar bugar.

Cont....

    
    

    




Monday, November 12, 2012

Love for a child

There's a picture on my kitchen wall

Looks like Jesus and his friends involved

There's a party getting starting in the yard

There's a couple getting steamy in the card

Was I too young to see this with my eyes?

And by the pool that night apparently

The chemical weren't  mixed properly

You hit your head and then forgot your name

And now you woke up at bottom by the drain

And now your altitude and memory's ashamed

reff:

What about taking this

Empty cup and filling it up

With a little bit more of innocense

I haven't had enough is probably because when you're young

It's okay to be easily ignore

I'd like to believe it was all about love for a child

When the house was left in shamble

Who was there to handle all the broken bits a glass

Was it Mom who put my Dad out on his ass or the other way around

Well I'm far too old to care about that now

What about taking this

Empty cup and filling it up with a little bit more of innocense

I haven't had enough it's probably because when you're young

It's okay to be easily ignore

I'd like to believe it was all about love for a child

It's kinda nice to work the floor

Since the divorce I've been enjoying both my Chrismastes and my birthday cakes

And taking drugs and making love at far too young an age

And they never start to check my grades

What a fool I've been to start complaining now

What about taking this

Empty cup and filling it up

With a little bit more of innocense

I haven't had enough it's probably beause when you're young

It's okay to be easily ignore

I'd like to believe it was all about love for a child

It's all about LOVE...

a song by my sexy Jason Mraz


Wednesday, November 7, 2012

The Juniors!!!






Welcome Home, Champions!!!

     4 November 2012. Sepertinya biasa, bangun kesiangan adalah kebiasaan buruk yang tidak pernah bisa saya hilangkan di saat weekend. Pukul 08.43 WIB, begitu kata jam di handphone saya. Kecewa karena niat dari semalam sebelum tidur adalah bisa nonton Spongebob Squarepants pagi ini, serial favorite yang hanya bisa saya saksikan saat weekend.

     Seperti biasa, saya memencet remote tv dan membiarkan tv menyala tanpa saya perdulikan acaranya.

     Seperti ada sesuatu yang saya lupakan pagi ini. Saya ambil botol minum di samping tempat tidur, lalu meminumnya. Saya ambil kacamata, memakainya kemudian membuka buku catatan kecil di atas meja dan membuka lembar demi lembar. Tidak ada jadwal ketemu teman hari ini. Saya kemudian mengutak-atik handphone, tidak ada panggilan dari Bapak atau Ibu saya yang jauh di Lampung sana. Kemudian saya putar lagu-lagu Jason Mraz yang selalu menemani hari-hari di kosan sambil terus mengingat-ingat apa yang saya lupakan.

    Belum selesai lagu Bella Luna milik Jason Mraz, tiba-tiba apa yang saya lupakan mampir di kepala. Yah, final final World Junior Championship 2012. Saya melihat deretan foto-foto atlet bulutangkis favorite saya di tembok kamar. Ada satu foto yang berisi dua anak muda dengan memegang piala sambil tertawa. Mereka adalah Arya Maulana Aldiartama dan Edi Subaktiar. Pasangan inilah yang diharapkan banyak orang menjadi kandidat terkuat juara dunia junior tahun ini. Namun sayangnya, merek harus dijegal pasangan China di perempat final.

     Whoever but not China or Malaysia. Begitulah prinsip dasar yang dianut hampir rata-rata pecinta bulutangkis Indonesia. Malaysia, negara tetangga yang apabila bertanding di Istora Senayan selalu menjadi bulan-bulanan para pecinta bulutangkis.

     China, mereka adalah "penjegal" langkah, tidak hanya atlet Indonesia, tapi juga atlet dari negara lain. Meskipun pepatah "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China" ada benarnya juga. Bukan belajar ke negeri China tapi belajar pada kedisiplinan mereka serta mental juara yang mereka miliki. Tapi kadang memang ekspresi dingin mereka yang seperti robot sering membuat gemes dan ingin melepaskan batere di punggung mereka. Setelah mengalahkan juara bertahan di mixed team,Malaysia, di perempat final, saatnya berjuang melawan China. Dan atlet China tetaplah manusia yang bisa juga lelah dan kalah. Kalaupun mereka robot, mereka juga bisa kehabisan batere. Maka di semifinal, dua pasangan ganda campuran junior kita yang tersisa, mampu menaklukkan benteng kuat The Great Wall of China. Alfian Eko Prasetya/Shella Devi Aulia dan Edi Subaktiar/Melati Daeva Oktavianti mampu memenangkan pertandingan dengan rubber game. No tv, no live stream, hanya ada live score. Namun itupun cukup membuat jantung saya yang tidak dirancang untuk menahan dag-dig-dug terlalu lama ini berdetak kencang dan hampir lepas mur-nya. Hati saya memang fragile. Okesip. Dan akhirnya, "tirai bambu" tersibak, tembok besar China berhasil ditembus gempuran putra-putri nusantara. Terciptalah All Indonesian Final di mixed double. Dunia saya jadi warna-warni, badan saya ringan (kalo ini memang karena saya kurus :D ), semua orang di kantor saya sapa, dan lagu Rocket Man milik Elton John terngiang-ngiang di telinga saya. Saya pergi ke luar angkasa :) Kembali ke final. Saya segera menuju ke TKP. Bukan terbang ke Jepang tapi membuka lama tournamentsoftware.com dan mengikuti live score. Pasangan ganda putri China sepertinya di ambang kekalahan. Dan benar saja, mereka kalah rubber game dari pasangan Korea. Timeline saya pun seketika ambyar. Sepertinya banyak yang senang dengan kekalahan ini. So I am :) Dan inilah yang ditunggu-tunggu, XD Final, Alfian Eko Prasetya/Shella Devi Aulia vs Edi Subaktiar/Melati Daeva Oktavianti is the court. Something like final Sirnas, eh? Jayaraya vs PB Djarum. We'll see, which one will be the best. Setelah menunggu selama 29 menit, akhirnya lahirlah sang juara dunia baru. Skor 21-17 21-13 mengukuhkan pasangan PB Djarum ini sebagai juara dunia baru. Alfian Eko Prasetya gagal mempertahankan gelarnya tahun lalu yang direbut bersama Gloria Emmanuel Wijaya. "Obama" kecil berhasil mengangkat piala kehormatan. Dengan berkalung merah putih, tawanya sumringah. Dan lagi-lagi, mata saya berkaca-kaca menahan haru. Air hangat pun akhirnya mengalir dari balik kacamata saya. Obama kecil yang ramah dan baik hati itu berhasil mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Memang, menjadi juara dunia junior bukan jaminan seorang atlet akan sukses saat menapaki level senior. Tapi ini adalah modal awal untuk menatap jalan panjang yang ada di depan. Jalan panjang yang entah penuh kerikil tajam, batu sandungan, duri atau malah mulus seperti jalan tol. Seperti apapun jalan yang akan dilewati, tetap jaga keseimbangan. Jangan mudah puas dengan apa yang sudah diraih. Di aas langit masih ada langit yang lain. Di atas cakrawala masih ada jagad raya yang tak terbatas luasnya. Di atas satu kemenangan, masih banyak kemenangan lain yang menunggu untuk dijemput. Jalan panjang itu siap dipijaki jiwa-jiwa muda putra-putri nusantara. Kamu, iya kamu Edi Subaktiar, selamat menempuh jalan panjang yang terbentang di depan. Tapakilah jalan yang menunggu itu dengan semangat yang tak pernah padam dan doa yang tak henti terucap. Sekali lagi, "Fly, Edi. Fly!!!" Nb: 2 foto ini adalah nazar dan twit saya yang menjadi kenyataan :)))

Sudah Waktunya Pulang (Pendapat Tentang Bulutangkis Indonesia)

    Semalam saya membaca sebuah tulisan di blog milik jurnalis tabloid TopSkor, Putra Permata Tegar Idaman, tentang pendapatnya mengenai prestasi junior Indonesia di World Junior Championship yang baru 3 November lalu. Edi Subaktiar/Melati Daeva Oktavianty membuktikan dirinya sebagai ganda campuran junior terkuat di dunia dengan mengalahkan rekan senegaranya sendiri, Alfian Eko Prasetya/Shella Devi Aulia.

    Edi Subaktiar yang sejatinya adalah peraih medali emas di ajang Asian Youth Championship 2012 di nomor ganda putra bersama Arya Maulana Aldiartama. Melati sendiri adalah juara Jerman 2012 di nomor ganda putri bersama Rosyita Eka Putri Sari. Di kejuaraan dunia junior ini, mereka juga bermain di nomor spesialisasi mereka, yaitu ganda putra dan ganda putri. Edi dan Arya merupakan ganda junior nomor satu dunia dan Melati serta Rosyita pun masuk dalam daftar 10 besar dunia. Di nomor ganda campuran pun, Edi dan Melati menghuni deretan 10 besar dunia. Jadi?

     Ada begitu banyak atlet di Indonesia yang sebenarnya menyimpan bakat-bakat di nomor selain dari apa yang menjadi spesialisasinya. Contohnya adalah Liliyana Natsir. Siapa yang berani memungkiri prestasi Liliyana di nomor ganda campuran? Bersama Nova Widiyanto, Liliyana sudah berhasil mengantongi banyak gelar yang di antaranya adalah 2 kali juara dunia dan medali perunggu olimpiade Beijing 2008. Bersama Tontowy Ahmad, Liliyana juga berhasil "memecah telor" penantian selama lebih dari 30 tahun di turnamen bulutangkis tertua di dunia, All England, untuk nomor ganda campuran. Setelah pasangan Christian Hadinata/Imelda Wiguna, baru di tahun 2012, akhirnya Tontowy dan Liliyana mampu mempersembahkan gelar prestisius tersebut yang akhirnya mengantarkan mereka sebagai ganda campuran terbaik negeri ini.

     Selain piawai bermain di sektor ganda campuran, Liliyana juga tidak diragukan saat bermain di nomor ganda putri. Bersama Vita Marissa, Liliyana berhasil menyelamatkan muka Indonesia di Indonesia Terbuka 2008 dengan mengalahkan ganda putri Jepang. Tidak ada yang bisa menyangkal prestasi Liliyana di kancah perbulutangkisan internasional.

     Sistem, semua kembali pada sistem. Aturan kepengurusan PBSI periode 2008-2012 yang tidak memperbolehkan atletnya bermain di dua nomor membuat bakat-bakat itu seakan sia-sia. Bakat yang kemungkinan masih bisa dieksplor itu akhirnya hanya tersimpan tanpa pernah diasah. Sebenarnya apa salahnya membiarkan para atlet untuk mencoba bermain di dua nomor sekaligus?

    Kita bisa belajar banyak dari China. Zhao Yunlei berhasil mengawinkan medali olimpuade 2012. Bersama Tian Qing, ganda putri sekaliber mereka dapat dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya hingga akhirnya berhasil merebut medali emas. Di nomor ganda campuran, bersama kekasihnya,  Zhang Nan, dia berhasil menghentikan perlawanan kompatriotnya, Xu Chen dan Ma Jin di partai final. Dua sektor dan dua-duanya berhasil. Seharusnya kita belajar banyak dari mereka.

    Di Indonesia sendiri, sebut saja Pia Zebadiah. Pia saat masih menjadi anggota pelatnas bermain di ganda campuran bersama Fran Kurniawan Teng dan diproyeksikan menjadi penerus Nova Widiyanto/Liliyana Natsir, sampai akhirnya memutuskan untuk resign dari pelatnas dan memilih untuk kembali ke klub dan berkarir profesional. Saat ini Pia bermain di dua nomor, ganda putri bersama Rizky Amelia Pradipta dan ganda campuran bersama kakaknya yang juga peraih medali emas olimpiade Beijing, Markis Kido, yang sudah lebih dulu memutuskan keluar dari pelatnas tahun 2010.

     Prestasi Pia/Rizky sendiri terbilang melaju pesat. Hanya dalam beberapa bulan, Pia/Rizky yang sebelumnya tidak masuk peringkat 50 besar, saat ini sudah masuk dalam daftar 20 besar dunia, bahkan melewati peringkat kompatriotnya di pelatnas, Anneke Feinya Agustine/Nitya Krishinda Maheswari.

     Di nomor ganda campuran, Pia/Kido juga berhasil menjuarai turnamen sekelas Gran Prix di Vietnam medio Agustus lalu.

     Lalu, akankah kepengurusan baru di PBSI akan membawa angin segar yang dapat membuat bakat-bakat terpendam akan muncul kembali?

     Di Indonesia, negeri yang tidak pernah kehabisan bakat ini, seharusnya tidak wajar bila terjadi kemerosotan prestasi di bulutangkis. Indonesia adalah negara bulutangkis, meskipun media tidak terlalu memperhatikan. Kita dapat melihat berbagai macam turnamen bergengsi dunia yang menggunakan nama orang Indonesia, seperti Sudirman Cup, Suhandinata Cup (WJC Mixed Team), serta Bimantara Cup (WJC Individual). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia pernah mempunyai masa keemasan dan menjadi negara yang disegani dalam bulutangkis. Sekarang Indonesia berada pada titik nadir kemerosotan prestasi. Bakat-bakat alami yang dimiliki negeri kaya potensi ini seakan tidak lagi disegani.

    Lalu, semua salah siapa? Pemerintah, PBSI, atlet atau malah kita yang terlalu sering menjelek-jelekkan prestasi atlet tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi? Yang jelas, bukan saatnya bagi kita untuk saling menyalahkan. Sudah saatnya bagi kita untuk bersatu, beejuang bersama-sama melakukan apa yang seharusnya kita lakukan, yaitu mengembalikan prestasi bulutangkis yang pernah ada di genggaman kita.

    Pemerintah jelas harus mulai ikut serta dalam hal ini. Bukan berarti harus mencampur aduknya dengan politik. Jangan sampai dengan turut sertanya pemajuan bulutangkis, pada akhirnya malah menjadikan terjadinya kekacauan seperti seperti yang terjadi pada sepakbola Indonesia. Kasihan para atlet yang sudah berjuang demi bangsa dan keluarganya pada akhirnya harus luntang-lantung menunggu nasib karena kisruh organisasi induk mereka.

     Pemerintah bertugas men-support, tidak hanya bulutangkis, tapi juga olahraga lain yang ada di Indonesia. Support yang harus dilakukan adalah memberikan dana pembinaan yang cukup bagi para atlet yang rela mengorbankan masa muda mereka untuk berusaha mengharumkan nama bangsa, tanpa mencampuri semua dengan segala hal yang berbau POLITIK. Berikan jaminan hidup di hari tua yang membuat atlet lebih bersemangat dan lebih fokus dalam berlatih. Jangan lagi ada atlet yang bernasib seperti Tati Sumirah yang bahkan tidak memiliki rumah.

    Angin segar yang dihembuskan kepengurusan baru PBSI semacam memberikan harapan baru bagi bulutangkis Indonesia. Nama-nama mantan atlet nasional seperti Susi Susanti, Ricky Subagja, Christian Hadinata, serta Rexy Mainaki yang berhasil diajak "pulang" dan menjadi Kabid Binpres, menyiratkan bahwa sebentar lagi, kita akan kembali siap tempur bersaing di level yang seharusnya kita berada, kembali ke level dunia. Tentunya selain itu juga harus ada pembibitan bakat-bakat muda di daerah harus terus digali dan dikembangkan.

     Atlet, mereka harus memiliki daya juang serta mental yang lebih besar dari sebelumnya. Mereka harus berorientasi pada prestasi. Berpikir bahwa mereka hanya bertanding untuk menang, menang dan menang. Siapa pun lawannya.

     Dan kita, penikmat dan pecinta bulutangkis Indonesia, dapat ikut turut serta dalam memajukan dan mengembalikan prestasi dengan cara terus mendukung para atlet serta para pengurus. Jangan mencaci para atlet yang kalah saat bertanding, jangan menghina saat prestasi seorang atlet menurun, jangan hanya bisa berteriak saat menang, tapi juga tetap mendukung saat di bawah. Terutama apabila yang menghina dan mencaci adalah orang yang tidak terlalu olahraga ini.

     Sekarang, mari kita dukung pengurus PBSI yang baru untuk bisa memberikan kebijakan-kebijakan yang lebih bijak, yang salah satunya adalah mengijinkan atletnya untuk bisa bermain rangkap. Dan mari kita bersama-sama berdoa agar tongkat kejayaan bulutangkis  bisa kembali ke rumah yang sudah seharusnya menjadi rumah, yaitu Indonesia.


Lilis Wiyatmo

   

[photo source : google]


Surat Pagi

Dear kamu,

Pagi ini ditemani tulisan-tulisan di blog Aan Mansyur, Falling in Love at the Coffee Shop - Landon Pigg, dan secangkir minuman jahe hangat, saya kembali mengingat kamu. Kamu yang pernah menggenggam tangan saya dengan begitu erat di suatu malam Idul Adha di sepanjang jalan Kalibata sekitar setahun yang lalu.

Entah kenapa saya harus mengingat kamu. Entah kenapa pula saya harus menulis surat ini untuk kamu. Selama setahun lebih kamu meninggalkan saya tanpa sedikit pun kata atau sekedar salam perpisahan. Saya sempat tidak bisa terima dengan perlakuan kamu. Saya juga sempat mengatakan bahwa dunia tidak adil bagi kisah cinta saya. Sampai akhirnya saya menyadari, bahwa kamu bukan satu-satunya yang bisa saya harapkan. Bahwa Tuhan saya akan dengan murah hati mengirimkan seseorang yang benar-benar bisa menerima dan menyayangi saya apa adanya.

Di surat ini, saya ingin menuliskan beberapa hal yang belum pernah saya ceritakan padamu. Saya ingin mengatakan bahwa saya sudah memaafkan kamu, walaupun mungkin kamu tidak merasa bersalah telah meninggalkan saya tanpa berpamitan.

Mungkin saat kamu memutuskan untuk mninggalkan saya, kamu punya selusin alasan yang mungkin juga, apabila kamu ceritakan pada saya sebelum kamu pergi, akan membuat saya lebih menerima kenyataan bahwa kamu memang bukan orang yang tepat untuk saya. Seandainya kamu lebih berterus terang waktu itu, mungkin saya tidak memendam perasaan benci pada kamu selama setahun terakhir ini.

Pagi ini, setelah membaca sebuah tulisan di blog milik penulis dari Makassar, M Aan Mansyur, saya berpikir bahwa inilah waktu yang tepat bagi saya untuk melupakan semua yang telah kamu lakukan pada saya. Saya memutuskan untuk menghapus semua hal yang pernah membuat Ibu saya bersedih karena melihat anak perempuannya ditinggal pergi oleh orang yang digadang-gadang akan memberikan pundaknya pada saat saya butuh tempat bersandar. Saya memutuskan untuk menghapus semua hal tentang kenangan, tentang sakitnya ditinggalkan, tentang sakitnya memiliki hati terlantar, tentang sakitnya digantungkan, tentang semua hal yang berkumpul membentuk sesuatu bernama kamu.

Saya akan selalu berdoa semoga kamu selalu membuat keputusan yang tepat disetiap jalan yang kamu pilih. Tuhan akan menerangi jalanmu selama kamu masih mengingat-Nya. Biarkan semua kenangan yang pernah tertulis menjadi satu bab cerita di buku kehidupan saya. Saya tidak akan lagi mengatakan keburukan kamu dan betapa sakitnya saya saat kamu tinggalkan. Karena saya sudah tahu bahwa semua sakit yang saya rasakan adalah berawal dari saya sendiri. Saya milih kamu, saya ditinggalkan kamu, saya harus siap menerimanya. Mungkin pertemuan adalah perpisahan yang tertunda.

Terakhir sekali, terimakasih atas semuanya. Terimakasih telah mengisi satu bab dalam buku hidup saya. Terimakasih telah memberikan pengalaman yang amat sangat berharga untuk saya. Semoga kamu selalu bahagia di mana pun kamu berjalan, apapun yang kamu lakukan dan dengan siapa pun kamu nantinya. Jangan sakiti hati Ibu dari anak-anak perempuan lain ya :)

Selamat pagi dan mari saling memaafkan...

Untuk Laut dan Senyumnya (surat 2)

Dear kamu,

Kopi yang aromanya pekat mengisi otakku
Menggeser topik lain yang sebelumnya berlaga
Aroma kafein samar menghadirkan senyummu
Beserta lengkungnya yang sederhana

Tak terkira betapa garis itu mengalahkan lengkung warna-warni milik pelangi
Lengkung senyun itu lebih hangat dari sinar matahari yang hadir setelah hujan

Dear kamu,

Bila ada waktu bacalah ini dengan lengkung senyum itu
Maka aku akan tidur sambil tersipu saat mengetahuinya

Tetaplah tersenyum dalam heningmu
Agar ramainya hati tetap terkendali seperti aroma kopi.

15-1-2012

Obama or Obama?

Siang tadi, timeline twitter saya ramai membicarakan tentang presiden Amerika, Barack Obama. Entahlah, katanya sih sedang dilangsungkan pemilihan umum di sana. Lhakok ujug-ujug ada pemilu saya ya bingung. Seperti biasa, setiap ada tulisan atau berita tentang Obama, tangan saya selalu terasa gatal. Gatal ingin cepat-cepat komen. Tapi komen saya pasti melenceng. Obama yang ada di pikiran saya adalah Obama yang lain. Yang ada di pikiran saya adalah Edi Subaktiar yang biasa dipanggil Obama. Gara-gara keramaian di timeline, saya jadi iseng cari foto Barack Obama di google. Saya download beberapa foto. Kemudian saya cari foto Edi Subaktiar di album foto handphone saya. Fyi, album foto saya penuh dengan foto Edi. Akhirnya saya dapatkan foto yang saya cari. Foto dengan gaya paling mirip dengan foto Barack Obama. Kemudian saya menuju ke aplokasi photogrid di hp saya. Saya satukan foto mereka. Yak, saya tertawa sendiri saat melihat hasilnya. Saya sangat tidak tahan untuk tidak mengirimkan foto itu kepada si tokoh yang ada di foto. Saya kirim foto itu ke Obama. Iya, ke Obama. Bukan Obama dari Menteng, tapi Obama dari Petamburan. Saya kirim foto itu melalui whatsapp messenger kepada Edi sambil mnulis, "Ternyata kamu memang beneran mirip Obama ya :D". Tidak berapa lama, Edi membalas dengan menulis,"hahahaaha, dapet aja mbak." Lalu saya balas lagi,"Sekarang pilih, Edi, mau jadi atlet apa presiden? Jangan semuanya, kasian yang lain." "Aku jadi atlet aja mbak, yang lain aja yang disuruh jadi presiden, beneran." Balas Edi lagi. Setengah baru baca balasan Edi yang di atas setengah jam kemudian karena lupa hahahaa... Kemudian saya balas lagi,"Yaudah kamu jadi presidennya atlet aja ya. Deal." Lalu balas Edi lagi,"Oke mbak, aku mau hhahahahaa..." Kemudian saya hening. Edi lagi selo sepertinya. Dia mau jadi presiden atlet. Saya kembali kerja dan memilih tidak melanjutkan karena biasanya nanti dia nanya ini itu dan saya bingung jawabnya. Jadi, yaudah gitu doang sih wahihihi Hidup Edi!!!

Mars

Berkelap-kelip Mars di ruang timur

Tabur mimpi sempurna di kisi kelelahan

Sudut kantukku hangat ditimpa kerlipnya

Kalutku menguap dibawa hangat yang buatku tenang bagai tanpa dosa

Mars, tersenyum bawaku terbang

Mars, alam mimpi sempurna

Taman angan maha sempurna

Kebun cinta tanpa derita

Padang bunga tanpa kekerasan dan dosa

Yang ada hanya cinta, mimpi, dan surga

Mars, kirimi aku selalu sinar redup yang gaungkan keindahan dan kedamaian...