Semalam saya membaca sebuah tulisan di blog milik jurnalis tabloid TopSkor, Putra Permata Tegar Idaman, tentang pendapatnya mengenai prestasi junior Indonesia di World Junior Championship yang baru 3 November lalu. Edi Subaktiar/Melati Daeva Oktavianty membuktikan dirinya sebagai ganda campuran junior terkuat di dunia dengan mengalahkan rekan senegaranya sendiri, Alfian Eko Prasetya/Shella Devi Aulia.
Edi Subaktiar yang sejatinya adalah peraih medali emas di ajang Asian Youth Championship 2012 di nomor ganda putra bersama Arya Maulana Aldiartama. Melati sendiri adalah juara Jerman 2012 di nomor ganda putri bersama Rosyita Eka Putri Sari. Di kejuaraan dunia junior ini, mereka juga bermain di nomor spesialisasi mereka, yaitu ganda putra dan ganda putri. Edi dan Arya merupakan ganda junior nomor satu dunia dan Melati serta Rosyita pun masuk dalam daftar 10 besar dunia. Di nomor ganda campuran pun, Edi dan Melati menghuni deretan 10 besar dunia. Jadi?
Ada begitu banyak atlet di Indonesia yang sebenarnya menyimpan bakat-bakat di nomor selain dari apa yang menjadi spesialisasinya. Contohnya adalah Liliyana Natsir. Siapa yang berani memungkiri prestasi Liliyana di nomor ganda campuran? Bersama Nova Widiyanto, Liliyana sudah berhasil mengantongi banyak gelar yang di antaranya adalah 2 kali juara dunia dan medali perunggu olimpiade Beijing 2008. Bersama Tontowy Ahmad, Liliyana juga berhasil "memecah telor" penantian selama lebih dari 30 tahun di turnamen bulutangkis tertua di dunia, All England, untuk nomor ganda campuran. Setelah pasangan Christian Hadinata/Imelda Wiguna, baru di tahun 2012, akhirnya Tontowy dan Liliyana mampu mempersembahkan gelar prestisius tersebut yang akhirnya mengantarkan mereka sebagai ganda campuran terbaik negeri ini.
Selain piawai bermain di sektor ganda campuran, Liliyana juga tidak diragukan saat bermain di nomor ganda putri. Bersama Vita Marissa, Liliyana berhasil menyelamatkan muka Indonesia di Indonesia Terbuka 2008 dengan mengalahkan ganda putri Jepang. Tidak ada yang bisa menyangkal prestasi Liliyana di kancah perbulutangkisan internasional.
Sistem, semua kembali pada sistem. Aturan kepengurusan PBSI periode 2008-2012 yang tidak memperbolehkan atletnya bermain di dua nomor membuat bakat-bakat itu seakan sia-sia. Bakat yang kemungkinan masih bisa dieksplor itu akhirnya hanya tersimpan tanpa pernah diasah. Sebenarnya apa salahnya membiarkan para atlet untuk mencoba bermain di dua nomor sekaligus?
Kita bisa belajar banyak dari China. Zhao Yunlei berhasil mengawinkan medali olimpuade 2012. Bersama Tian Qing, ganda putri sekaliber mereka dapat dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya hingga akhirnya berhasil merebut medali emas. Di nomor ganda campuran, bersama kekasihnya, Zhang Nan, dia berhasil menghentikan perlawanan kompatriotnya, Xu Chen dan Ma Jin di partai final. Dua sektor dan dua-duanya berhasil. Seharusnya kita belajar banyak dari mereka.
Di Indonesia sendiri, sebut saja Pia Zebadiah. Pia saat masih menjadi anggota pelatnas bermain di ganda campuran bersama Fran Kurniawan Teng dan diproyeksikan menjadi penerus Nova Widiyanto/Liliyana Natsir, sampai akhirnya memutuskan untuk resign dari pelatnas dan memilih untuk kembali ke klub dan berkarir profesional. Saat ini Pia bermain di dua nomor, ganda putri bersama Rizky Amelia Pradipta dan ganda campuran bersama kakaknya yang juga peraih medali emas olimpiade Beijing, Markis Kido, yang sudah lebih dulu memutuskan keluar dari pelatnas tahun 2010.
Prestasi Pia/Rizky sendiri terbilang melaju pesat. Hanya dalam beberapa bulan, Pia/Rizky yang sebelumnya tidak masuk peringkat 50 besar, saat ini sudah masuk dalam daftar 20 besar dunia, bahkan melewati peringkat kompatriotnya di pelatnas, Anneke Feinya Agustine/Nitya Krishinda Maheswari.
Di nomor ganda campuran, Pia/Kido juga berhasil menjuarai turnamen sekelas Gran Prix di Vietnam medio Agustus lalu.
Lalu, akankah kepengurusan baru di PBSI akan membawa angin segar yang dapat membuat bakat-bakat terpendam akan muncul kembali?
Di Indonesia, negeri yang tidak pernah kehabisan bakat ini, seharusnya tidak wajar bila terjadi kemerosotan prestasi di bulutangkis. Indonesia adalah negara bulutangkis, meskipun media tidak terlalu memperhatikan. Kita dapat melihat berbagai macam turnamen bergengsi dunia yang menggunakan nama orang Indonesia, seperti Sudirman Cup, Suhandinata Cup (WJC Mixed Team), serta Bimantara Cup (WJC Individual). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia pernah mempunyai masa keemasan dan menjadi negara yang disegani dalam bulutangkis. Sekarang Indonesia berada pada titik nadir kemerosotan prestasi. Bakat-bakat alami yang dimiliki negeri kaya potensi ini seakan tidak lagi disegani.
Lalu, semua salah siapa? Pemerintah, PBSI, atlet atau malah kita yang terlalu sering menjelek-jelekkan prestasi atlet tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi? Yang jelas, bukan saatnya bagi kita untuk saling menyalahkan. Sudah saatnya bagi kita untuk bersatu, beejuang bersama-sama melakukan apa yang seharusnya kita lakukan, yaitu mengembalikan prestasi bulutangkis yang pernah ada di genggaman kita.
Pemerintah jelas harus mulai ikut serta dalam hal ini. Bukan berarti harus mencampur aduknya dengan politik. Jangan sampai dengan turut sertanya pemajuan bulutangkis, pada akhirnya malah menjadikan terjadinya kekacauan seperti seperti yang terjadi pada sepakbola Indonesia. Kasihan para atlet yang sudah berjuang demi bangsa dan keluarganya pada akhirnya harus luntang-lantung menunggu nasib karena kisruh organisasi induk mereka.
Pemerintah bertugas men-support, tidak hanya bulutangkis, tapi juga olahraga lain yang ada di Indonesia. Support yang harus dilakukan adalah memberikan dana pembinaan yang cukup bagi para atlet yang rela mengorbankan masa muda mereka untuk berusaha mengharumkan nama bangsa, tanpa mencampuri semua dengan segala hal yang berbau POLITIK. Berikan jaminan hidup di hari tua yang membuat atlet lebih bersemangat dan lebih fokus dalam berlatih. Jangan lagi ada atlet yang bernasib seperti Tati Sumirah yang bahkan tidak memiliki rumah.
Angin segar yang dihembuskan kepengurusan baru PBSI semacam memberikan harapan baru bagi bulutangkis Indonesia. Nama-nama mantan atlet nasional seperti Susi Susanti, Ricky Subagja, Christian Hadinata, serta Rexy Mainaki yang berhasil diajak "pulang" dan menjadi Kabid Binpres, menyiratkan bahwa sebentar lagi, kita akan kembali siap tempur bersaing di level yang seharusnya kita berada, kembali ke level dunia. Tentunya selain itu juga harus ada pembibitan bakat-bakat muda di daerah harus terus digali dan dikembangkan.
Atlet, mereka harus memiliki daya juang serta mental yang lebih besar dari sebelumnya. Mereka harus berorientasi pada prestasi. Berpikir bahwa mereka hanya bertanding untuk menang, menang dan menang. Siapa pun lawannya.
Dan kita, penikmat dan pecinta bulutangkis Indonesia, dapat ikut turut serta dalam memajukan dan mengembalikan prestasi dengan cara terus mendukung para atlet serta para pengurus. Jangan mencaci para atlet yang kalah saat bertanding, jangan menghina saat prestasi seorang atlet menurun, jangan hanya bisa berteriak saat menang, tapi juga tetap mendukung saat di bawah. Terutama apabila yang menghina dan mencaci adalah orang yang tidak terlalu olahraga ini.
Sekarang, mari kita dukung pengurus PBSI yang baru untuk bisa memberikan kebijakan-kebijakan yang lebih bijak, yang salah satunya adalah mengijinkan atletnya untuk bisa bermain rangkap. Dan mari kita bersama-sama berdoa agar tongkat kejayaan bulutangkis bisa kembali ke rumah yang sudah seharusnya menjadi rumah, yaitu Indonesia.
Lilis Wiyatmo
[photo source : google]
semoga perbulutangkisan indonesia kembali pada titik jaya..
ReplyDeletesemogaa..
Amiiiiiiiiinnnnn
ReplyDelete