Sunday, June 9, 2013

Jan, Will You Marry Me?

I feel like a pengantin baru. Dan rasa-rasanya saya akan tidur sambil tersenyum malam ini.

Pagi tadi, sekitar pukul 06:10 saya berangkat ke Istora Senayan dengan penuh harapan. Saya menaiki bis transjakarta sambil mencari cara untuk memuaskan hasrat yang saya pendam beberapa waktu terakhir. Pagi tadi, saya bertekad dalam hati bahwa saya harus bertemu dengan shuttler tampan yang baru-baru ini ingin saya nikahi, Jan Ostergaard Jorgensen.

Betul, setelah mendambakan calon suami seperti Shintaro Ikeda, baru-baru ini saya menjadi sangat jatuh cinta pada tubuh ber-tattoo milik Jan. Saya jatuh cinta pada pandangan tattoo pertama. Saya pikir tattoo yang ada di tubuh Jan adalah rajah tubuh paling seksi nomor dua setelah milik Jason Mraz. Iya, saya suka beberapa tattoo yang melengkapi badan beberapa pria. Jan dan Jason dua di antaranya.

Tekad saya sudah bulat. Saya berangkat dari rumah sendiri dan akan bertemu dengan Fitria di sana.

Saya turun di halte Gelora Bung Karno. Suasana di kawasan sangat penuh dengan warna merah karena ada ratusan orang berkumpul di pintu masuk. Saya hilang. Namun beberapa saat kemudian saya berhasil meloloskan diri dan sampai di Istora.

Keadaan begitu sepi di Istora. Hanya ada beberapa tukang bangunan yang bekerja dan sebuah bis berwarna putih terparkir. Saya naik ke atas dan menelusuri setiap pintu, berharap ada yang tidak dikunci dan saya bisa masuk ke dalam. Tapi ternyata nihil. Namun seorang cleaning service memberi tahu saya bahwa "orang bule" yang sedang berlatih. Saya pun langsung berlari ke bawah mencari pintu sesuai arahan bapak cleaning service. Setelah menemukan pintu yang dimaksud, saya langsung masuk dan mata saya langsung menemukan sosok berkaos biru yang sedang mengakhiri latihannya dengan memunguti shuttlecock di lapangan.

Saya ingin berteriak kencang dan berlari ke arena memeluk sosok berkaos biru tersebut. Tapi demi harkat dan martabat negara dan daripada saya dituduh perusuh, saya duduk sambil mata saya tak lepas dari si baju biru tersebut. Dada saya berdebar-debar dan saya seperti mau meledak. Andaikan ada Fitria, saya pasti tidak segelisah itu.

Tim China mulai memasuki lapangan menggantikan tim Denmark yang sedang mengeringkan keringat di pinggir arena. Beberapa menit kemudian, si baju biru yang duduk di pinggir lapangan membuka baju birunya. Dan tersibaklah wajah Jim Morisson di lengan kanan atasnya. Mata saya silinder, dan saya tidak mampu melihat wajah orang dalam jarak 5-10 meter. Tapi pemilik tattoo vokalis The Doors di lengan kanan atas itu sudah ada di mimpi dan khayalan saya setiap hari. Jadi, dalam jarak yang jauh pun, ketika dia membuka bajunya, saya seolah bisa membaca tattoo "Time Will Tell" di dada kanannya. Dan tattoo di dada kanan adalah pesona bagi pemiliknya. Seakan-akan setiap melihat tattoo itu, saya ingin bersandar di sana. Melepas segala penat dan menceritakan segala hal yang membebani pikiran saya.

Pemilik tattoo Jim Morisson teesebut tak lain adalah Jan. Dia mengenakan jaketnya dan mengikat tali sepatu, bersiap-siap meninggalkan tempat latihan pagi itu. Hati saya yang sedari pagi sudah digerakkan oleh cinta segera memerintahkan pada kaki untuk segera melangkah ke luar arena menuju ke manapun tempat yang bisa mempertemukan saya dengan Jan O. Jorgensen.

Saya sempat melihat muka heran beberapa orang yang duduk di samping saya. Tapi saya tetap meloncati kursi-kursi penonton dan berlari ke arah pintu keluar atlet.

Keadaan di pintu keluar atlet sepi. Hanya ada 2 orang pria muda membawa kamera yang sepertinya juga sedang menunggu beberapa atlet yang akan keluar. Saya berlari mendekati mereka dan disambut dengan muka heran. "Mas, tolong fotoin saya sama Jan ya nanti." kata saya sambil menyerahkan handphone android versi jeblok milik saya yang kalau dipakai selama 5 menit baterenya langsung habis. " Wooh, fansnya Jan juga, ya?" tanya salah seorang dari mereka yang memegang handphone saya. Saya tidak menjawab pertanyaan itu karena dari dalam dua orang pria dan wanita berperawakan tinggi dengan rambut coklat dan berkulit putih kemerahan berjalan ke arah saya dan dua laki-laki yang ternyata juga sedang menunggu orang yang sama dengan saya. Dengan jantung yang seakan mau loncat dan perasaan ingin memeluk, saya berjalan ke arah Jan yang menyambut saya dengan senyuman.

"Jan..."

"Okay", jawab Jan sok tau sambil langsung berdiri di samping saya dan merangkulkan tangan kirinya ke bagian atas punggung saya. Entah kenapa dia langsung menjawab "okay", padahal saya belum melanjutkan kalimat saya. Bisa saja saya bertanya, "Jan, will you marry me?", atau"Jan, can you hug me now?" atau malah "Jan, let's make a baby". Mungkin karena ikatan cinta yang kuat di antara kami, dia bisa membaca isi hati saya sebelum selesai saya ucapkan hahahaha, oke ini ngaco. Tapi kalau Jan mau mengisi hati saya, pintu selalu terbuka lebar setiap saat :D

Setelah satu jepretan kamera selesai, dia melepaskan tangan dari punggung atas saya.

"Thank you, Jan. By the way, I love your tattoos.", saya mengucapkan terimakasih sambil terbata-bata antara grogi dan takut bahasa Inggris saya kacau.

"Aah thank you. Okay, bye." Jawabnya sambil tersenyum menepuk pundak kanan saya kemudian berlalu.

Dunia saya berhenti sampai ketika 2 laki-laki penolong saya menyerahkan handphone sambil berkata, "sialan, kita nunggu daritadi malah dia pergi." Saya mengucap terimakasih sambil berlalu pergi dan menahan tawa. Bis putih yang membawa Jan bergerak pergi. Saya tersenyum pada bagian belakang bis sebelum akhirnya menghilang. Saya kembali ke dalam arena sambil menahan rasa ingin kayang di tengah lapangan saking bahagianya.

Tanggal 3 Juni kemarin, saat ulang tahun saya, saya pernah mem-posting sesuatu di blog ini dan berkata bahwa saya tidak mempunyai doa di hari ulang tahun. Tapi ternyata seperti apapun manusia berkata dia tidak punya hajat apapun, tetap saja di dalam hati menyimpan sebuah keinginan. Yah, sebelum tidur di penghujung hari tanggal 2 Juni, saya berbisik pada Tuhan bahwa saya ingin bertemu dengan Jan O. Jorgensen. Dan Tuhan menjawab doa saya hari ini. Bukan hanya bertemu dari kejauhan. Tapi saya bisa merasakan tangannya memegang punggung dan menepuk pundak kanan saya. Semoga dia merasakan detak jantung saya yang membisikkan cinta *aseeeeeeek* :D

Dan postingan ini memang sangat norak. Tapi saya memang sedang bahagia dan sangat bersyukur dengan apa yang dilakukan Tuhan hari ini. Tuhan tidak tidur, Dia mencatat apapun yang kita minta kemudian memberikannya dengan cara yang indah.

Malam ini saya akan tidur sambil merasakan rangkulan tangan Jan di punggung saya. Semoga mimpi indah, Jan. Jangan mabuk-mabukan ya. Kesehatanmu lho X)))))


No comments:

Post a Comment