Wednesday, June 19, 2013

The Story of #NgIstora (part 3)

Quarter Final Day!!!

     Aku cah pemberani. Berani ke mana-mana sendiri. Buktinya hari itu, aku pergi ke Istora sendiri. Iya, aku nggak punya temen. Dan iya, aku nulis pake "aku" sekarang, bukan "saya".

     Aku jalan dari kosan di daerah Pasarminggu sekitar pukul 11:00. Naik angkot kemudian nyambung lagi naik Transjakarta. Pertandingan pertama akan dimulai jam 1 siang. Jadi masih ada waktu buat ngebayangin tattoo "Time Will Tell" di dada kanan Jan O. Jorgensen sebelum fokes ke pertandingan. Atau sekedar meniupkan harapan, semoga atlet yang cowok-cowok pake celana putih. Oke, saru detected. Tapi kalo cah pemberani sih bebas, saru juga gpp. Pemberani kok (--,)

     Sampai di Istora, saya langsung ke ticket box untuk membeli apa hayooo? Hayo apa? Coba tebak. Ya membeli tiket lah masa membeli jamu beras kencur, lu kata kang jamu --"
Entah karena aku kesiangan atau penonton lain yang kepagian, pas beli tiket, nggak ada antrean sama sekali. Tapi pas di pintu masuk, beuuuhhh, yang baris berbanjar udah kayak nunggu pembagian sembako. Sebagai cah pemberani, aku menyusup di antara ketek bapak-bapak dan koko-koko bermata sipit. Seorang bapak di depanku yang ngakunya bolos kerja juga ternyata sendirian. Dia ngoceh ngalor-ngidul nyeritain Alvent Yulianto yang katanya pemain paling ganteng versi ondesepot. Saking fokesnya ngomyang, dia sampe nggak sadar pas koh Alvent yang 2 kali di sampingnya. Ketika koh Alvent lewat untuk yang ketiga kalinya, baru dia sadar dan blahbloh sendiri bingung nanyain yang lewat Alvent atau bukan.

     Pintu dibuka, aku masuk dan mencari tempat paling nyaman untuk mata. Kursi vip penuh hari itu. Aku duduk di antara 2 orang bapak-bapak yang juga bolos ngantor dan mas-mas yang berbahasa Melayu (mas-mas ini juga ada waktu hari Sabtu).

     Sebagai cah pemberani, walaupun sendiri, aku tetap membawa senjata berupa airbang dan menyiapkan suara untuk memanggil para atlet yang bertanding di lapangan. Saya nyempil di tengah-tengah para pria yang iyik nanyak muluk tentang pemain. Mungkin mereka pikir saya adalah stafnya om Paul Erik-Hoyer yang tau semua tentang data diri pemain. Padahal aku hanya seorang pemberani, tidak lebih :(

     Match pertama di court 1 mempertandingkan antara Markis Kido/Alvent Yulianto Chandra melawan Shin Baek Cheol-nya akuh dan Yoo Yeon Seong-nya akoh. Btw, Yoo Yeon Seong ini atlet yang bisa membuat aku merasa tidak aman dan ingin dilindungi. Selain pesona atlet Korea memang tidak terbantahkan, rambut ala wamil milik Yoo Yeon Seong-nya akuh dan badannya yang sekel-sekel kenyal bikin aku agak nggak konsen dan pengen ucul-ucul kemudian bikin jus avocado. Aku merasa tidak aman, aku merasa pengen dilindungi. Lindungi akuh, mas. Lindungi akuuuhhh!!!

     Mungkin Yoo Yeon Seong-nya akoooh semangat karena ada aku di depannya makanya tekhnik dan pengalaman yang dimilik Kido/Alvent harus direlakan begitu saja. Mereka kalah 3 game dari pasangan porselen ini. Tapi nggak papa, ada rencana indah dari Tuhan untuk saya dengan kekalahan Kido/Alvent ini. Yakinlah, sumpah.

     Pertandingan mendebarkan menjadi milik Bellaetrix Manuputty yang harus berjuang melawan Yip Pui Yin. Bella yang tahun lalu selalu lmenjadi Ms. Round 1, tahun ini menunjukkan grafik yang naik drastis. Menjadi satu-satunya wakil tunggal putri Indonesia di perempat final, Bella benar-benar menunjukkan kegigihan dan semangat juang tinggi. Walaupun akhirnya harus kalah dalam 3 set, semua penonton di Istora berdiri dan bertepuk tangan memberikan penghormatan pada Bella yang telah menumpahkan keringatnya hari itu.

     Hingga siang hari, belum ada pemain Indonesia yang melaju ke semifinal sampai ketika Hayom Rumbaka, dengan smash-smash kencangnya, berhasil menumbangkan wakil tunggal putra China satu-satunya yang tersisa, yang tahun lalu dikalahkan oleh Simon Santoso di partai final. Ada yang kangen sama Simon? :(

     Andalan Indonesia, Owi/Butet hari itu bertanding melawan Chan Peng Soon/Liu Ying Goh. Chan/Goh lagi-lagi harus menjadi korban kebrutalan ultras Istora setelah hari sebelumnya Koo/Tan juga mengalami hal yang sama. Ibarat kata, Chan/Goh napas aja udah salah di mata penonton Istora. Dan akhirnya, mereka memang tidak bisa berkutik melawan Owi/Butet *ngomong-ngomong sekarang aku merinding inget yel-yelnya ultras Istora*.

     Partai ganda putra antara Cai Yun/Fu Haifeng melawan Hendra/Ahsan seharusnya menjadi partai klasik bila Hendra Setiawan masih berpasangan dengan Markis Kido. Kido/Hendra dan Cai/Fu dulunya adalah "musuh bebuyutan" yang selalu berusaha saling mengalahkan. Meskipun sudah berumur, aura juara masih terpancar jelas dari Cai Yun, Fu Haifeng dan Hendra Setiawan. Sehingga nama mereka semua tak henti diteriakkan. Tidak hanya nama Ahsan dan Hendra, tapi juga Cai/Fu. Aku sendiri merinding menyaksikan pertandingan ini.

   Hendra dan Ahsan berhasil bermain gemilang dan mengalahkan pasangan peraih emas olimpiade London ini dalam dua set. Saat pertandingan selesai, ada rasa yang ngamuk-ngamuk di dada. Antara seneng Hendra/Ahsan menang, dan sedih karena Cai/Fu kalah. Iya, aku sedih. Bapak-bapak di sampingku sampe tanya kenapa aku nangis. Aku juga ga tau kenapa harus nangis pas Cai/Fu kalah.

     Ganteng dan semoknya akuh, Ko Sung Hyun/Lee Yong Dae malah sampe ga diperhatiin karena saking serunya match yang lain. Dia sampe keliatan nggak semangat karena mungkin dia tau aku nggak terlalu merhatiin. Sebenarnya sih nggak usah gitu juga, toh abis tanding juga masih bisa ketemuan, masih bisa jalan bareng, masih bisa sayang-sayangan, masih bisa nanem avocado bareng dan memanennya sama-sama.

     Entah karena sendirian atau karena terbawa suasana, aku duduk anteng dari baru dateng sampe akhir acara. Berbekal nasi uduk di perut, sepanjang hari aku cuma makan biskuit gandum dan air mineral sebotol. Di partai akhir, baru aku mulai kebayang ngisep kepala udah saos padang yang belum terlalu mateng pake nasi anget.

     Partai terakhir mempertandingkan antara Ricky/Richi vs Zhang Nan/Zhao Yunlei. Zhang Nan makin manis aja ya, ngomong-ngomong :")
Ricky/Richi yang di atas kertas berada di bawah pasangan China tersebut, tetap memberikan perlawanan sengit. Beberapa kali pertahanan Zhang Nan/Zhao Yunlei bisa ditembus dengan mudah oleh Ricky/Richi. Dukungan pun mengalir dari penonton yang masih bertahan di Istora. Ricky/Richi memang akhirnya kalah. Tapi sebuah proses dan semangat harus tetap dihargai. Standing applause menggemuruh seiring dengan berkurangnya para pengunjung yang pulang ke rumah masing-masing. Akupun pulang ke hati Jan O. Jorgensen. Tinggal di sana sampai waktu yang tidak ditentukan...


               "to be continue"

    

    

    

    

    
    
    
    
    

    

    
    

    

    

    

    

    

    

    

No comments:

Post a Comment