Tuesday, June 18, 2013

The Story of #NgIstora (part 2)

     Sambil input bill voucher taxi, mari kita melanjutkan cerita yang tertunda ini.

     Sebelum acara besar Djarum Indonesia Open Super Series Premier digelar, saya dan Pipit udah duluan nyolong start dateng ke Istora bersama dengan orang-orang lain yang juga terlalu selo seperti kami, seperti yang saya ceritakan di dua postingan sebelum ini. Indonesia Open kali ini adalah pertama kalinya di dunia, sebuah gelaran Super Series diadakan selama 7 hari penuh. Saya sendiri datang pada hari keempat atau babak kedua, pada hari Kamis. Saya pikir, di babak kedua masih banyak pemain top dunia yang akan saya saksikan. Tapi ternyata Chen Long harus bobok manis lebih cepat karena dikalahkan Tommy Sugiarto di babak pertama, Wang Zhengming yang kalah rubber game dari Lee Chong Wei dan Jan O Jorgensen harus pulang karena dikalahkan pemain non-unggulan asal Jepang, Kazumasa Sakai, yang pada akhirnya bisa mencapai perempat final, juga Taufik Hidayat yang benar-benar menyelesaikan akhir dari karirnya di babak pertama setelah takluk dari pemain India.

   Hari itu, pagi sekali saya berangkat ke Blok M. Iya, harusnya saya bisa langsung ke Senayan dengan naik Transjakarta. Tapi karena saya janjian dengan Dwi, yang rumahnya di negeri Abu Nawas, dan kalo mau ke Jakarta mesti naik buroq yang kecepatannya menggunakan ukuran tahun cahaya biar ga kena macet, jadilah saya pergi ke Blok M dulu. Sekitar jam 7 saya tiba di terminal Blok M. Keadaan di basement sepi, hanya ada beberapa orang duduk di kursi tunggu yang berjejer di dekat loket bis Transjakarta. Dan sialnya, saya dapat tempat duduk di sebelah bapak-bapak yang baunyaaaaaaaa alamak :|

     Setelah satu jam berdiskusi lewat sms, akhirnya Dwi memutuskan untuk turun dari bis dan naik kopaja ac yang lewat di jalur Transjakarta agar lebih cepat sampai ke Senayan. Saya pun langsung berangkat ke Istora yang bila kita naik Transjakarta dari terminal Blok M, hanya perlu waktu tidak sampai 10 menit.

     Saya sampai di Istora dengan tersenyum bahagia sambil menghirup aroma Istora yang sangat lekat di kepala.

     Pertandingan dimulai pukul 10:00. Sebelumnya diperdengarkan BWF anthem yang bikin merinding itu, kemudian soundtrack Indonesia Open 2013 yang sampai terbawa mimpi 2 malam ini.

     Pertandingan pertama adalah antara Rusia, Ivan Sozonov serta pasangan jerapahnya, Vladimir Ivanov melawan pasangan Inggris di court 3, di court 2 Ashwini/Kona vs Mateusak/Zieba, dan kakak Boonsak iwel-iwelnya akuh melawan idolanya Dwi, Sho Sasaki di court 1. Saya fokus pada celananya kakak Boonsak yang kegedean dan digulung di bagian perut serta muka kalemnya yang menggemaskan. Sedangkan Dwi nggak ngedip liat celananya Sasaki yang ketat dan betis serta pahanya yang kayak gedebong pisang. Saya tau, Dwi pasti jatuh cinta pada pandangan pertama, karena saat baru datang kami sempat bertemu tapi Sasaki cuek, mungkin karena ada saya. Kalo nggak pasti mereka udah pelukan mesra XD

     Pertandingan dimenangkan oleh kak Boonsak iwel-iwel. Saya ga terlalu fokus pada pertandingan lain, sampai pertandingan di court 1 mempertandingkan antara Alvent Yulianto/Markis Kido melawan pasangan andalan Malaysia yang akhir-akhir ini nggak bisa diandalkan, Koo/Tan. Sebenarnya kasian liat mukanya Tan yang memelas gitu, dan badan mereka sebenarnya minta dipeluk banget, tapi salah siapa mereka lahir di negara ono. Walaupun orang nggak bisa milih untuk lahir di mana, tapi kalo mereka tetep aja salah (--,)

     Pertandingan lain yang seru adalah antara Hayom Rumbaka melawan Takuma Ueda yang juga iwel-iwelnya akoh. Sepanjang pertandingan, saya dan Dwi tidak bisa mengedipkan mata melihat betapa imutnya Ueda. Mungkin setelah Shintaro, Ueda lah yang layak menjadi gantinya. Walaupun Shintaro Ikeda tak akan pernah tergantikan di hatiku selamanya *haiyah*. Ocehan ngawur tidak henti kami ucapkan sepanjang pertandingan. Dan saat angka terakhir di game ketiga diperoleh oleh Hayom, Takuma Ueda seketika tertidur tengkurap di lapangan dengan badan basah penuh keringat. Sedangkan saya seketika ingin nemplok di punggung basah Ueda. Dan Dwi langsung pengen bawa pulang Ueda buat dijadiin mainan di kamar kalo lagi bosen. Pokoknya bebas, Wik. Bebaaassss --"

     Pertandingan menggemparkan juga terjadi saat Cai Yun/Fu Haifeng melawan pasangan muda mantan anggota pelatnas, Gideon Markus Fernaldi dan Andrei Adistia. Sekali lagi, pesona Cai/Fu yang kebapakan sanggup membuat hati saya berdebar-debar.

     Oh iya, sempet ada kejadian lampu pecah di samping court 1 yang notabene adalah tv court. Lampu pecah ketika ada pertandingan antara Busanan Ongbumrungpan melawan Carolina Marin. Pecahan lampu tidak hanya jatuh sekali, tapi berkali-kali sehingga pertandingan terpaksa harus dihentikan beberapa kali pula. Inget Final Destination, btw.

     Sempat kecewa berat sebenarnya saat SDK harus menyerah dari pemain India dalam permainan 2 set langsung. Sony yang tahun lalu di babak kedua berhasil mengalahkan bintang Denmatk, Peter Hoeg Gade dalam 3 set dan sempat membuat saya terharu, tahun ini tampak tampil mengecewakan. Wajah Sony memang datar dan selalu menyunggingkan senyum dalam keadaan kalah ataupun menang. Mungkin dia kalah karena saudara kembarnya, Wang Yihan, sudah kalah di babak pertama *ini penting, SDK memang kembar dengan Yihan*.

     Di saat yang sama, Alamsyah Yunus juga harus mengalami kekalahan menghadapi Mark Zwiebler dari Jerman. Saya yakin, kekalahan Alam kali ini bukan karena skill atau stamina yang kurang, tapi karena bajunya kedodoran. Seperti yang saya tulis sebelumnya, setiap melihat Alamsyah saya pasti pengen ngakak sak pol'e. Dan entah kenapa malam itu Alam harus pake baju kegedean. Mungkin emaknya lupa bawa bajunya ke tukang jahit jadi terpaksalah dia pake baju yang mungkin lebih cocok dipake Mad Pieler Kolding.

     Selain bajunya yang kedodoran, Alamsyah juga sempat bingung saat mbak-mbak spg ngasih sekantong baju ke dia. Alamsyah sempat berhenti di tengah jalan ketika mbak spg menyerahkan kantong baju tersebut. Entah karena dia nggak pernah nonton saat pemain Indonesia bertanding atau memang dia loadingnya kluwer alias lama. Tapi tetap saja, saya dan Dwi ngakak di kursi penonton melihat muka bingung Alamsyah. Mungkin dia pikir, sekantong kaos tersebut dikasih buat dia untuk dibagikan ke tetangganya di rumah -____-"

     Semeriah apapun hari itu, saya tetap menyesali nasib Jan O Jorgensen yang harus kalah terlalu cepat. Padahal saya udah bikin tulisan di kertas A3 dengan tulisan, "Jan, tag mig hjem". Tapi saya juga bersyukur karena saya masih bisa bertemu dengannya walau hanya beberapa menit saja. Karena dalam beberapa menit itu saya bisa merasakan tangannya di punggung dan pundak saya. Duh, tapi Tuhan, saya mau lebih :">

     Dan lagi-lagi, match paling meriah dan hampir membuat pecah Istora adalah pertandingan atlet berkulit porselen, siapa lagi kalau bukan Ko Sung Hyun/Lee Yong Dae. Malam itu LYD/KSH melawan pasangan dari Chinese Taipei yang di babak pertama mengalahkan Angga/Rian. pIstora berubah pecah dan suara jejeritan berbagai macam terdengar di mana-mana. Istora hancur berantakan, bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelip, suasana chaos. Wanita-wanita lupa diri, termasuk saya yang langsung merasa seperti belum makan selama 746 tahun. Saya pengen gigit biceps-nya Ko Sung Hyun dan pengen mijitin betisnya Lee Yong Dae. Saya juga pengen anu itu ah sudahlah *tahan napas*.

     Saya di sana sampai pertandingan terakhir dimainkan. Pertandingan terakhir mempertemukan antara Datok Lee Chong Wei dan pemain India yang mengalahkan Taufik Hidayat, Sai Praneeth HS. Partai tersebut sebenarnya tidak terlalu seru. Namun saya terlalu bahagia bisa menyaksikan langsung pertandingan seorang legenda hidup Malaysia yang juga menjadi salah satu pemain terbaik yang dimiliki dunia bulutangkis. Datok Lee Chong Wei mungkin menjadi satu-satunya pemain Malaysia yang tetap dipuji dan dihormati oleh Indonesia. Selain skill yang mumpuni dan prestasi yang tidak usah ditanya lagi, sederhana dan rendah hati adalah poin tambahan yang menjadikan Datok Lee Chong Wei sangat dicintai di Indonesia.

     Ketika pemain Malaysia lain bertanding, saat tidak melawan Indonesia pun, penonton tetap akan meneriakkan sorakan bengis pada mereka. Semua negara yang dilawan Malaysia adalah kawan. Namun tidak dengan Lee Chong Wei. Semua penonton hormat dan memberikan standing applause ketika sang Datok selesai bermain. Prestasi dan kerendahan hati memang menjadi air bagi 'api' yang selalu ada di antara Malaysia dan Indonesia. Terimakasih, Datok.

     Hari itu, menjadi hari yang tak akan terlupakan bagi saya. Memang bukan pertama kalinya saya menyaksikan pertandingan bulutangkis dunia, tapi hari itu adalah hari yang sangat bersejarah dan tak akan terlupakan.

     Dan Istora menjadi salah satu dari beberapa tempat penghilang stress. Karena di sana saya bisa teriak semau saya, sekencang-kencangnya dengan kata-kata apa saja.

              "to be continue"

    
    
    

    

No comments:

Post a Comment